PRESIDEN Joko Widodo alias Jokowi menginstruksikan agar segera menyelesaikan revisi UU anti terorisme. Apakah revisi memang sangat diperlukan saat ini?
Negara membutuhkan alat aksi yang efektif demi kepentingan keamanan nasional. Salah satunya adalah dengan memperbaiki sisi lemah payung hukum pemberantasan terorisme.
Urgensinya apa sih revisi UU terorisme ini? Apakah menjadi jawaban atas hambatan kepolisian selama ini?
Di soal pencegahan, ada klausul yang mengatur penindakan dini dengan penangkapan.
Juga pengaturan untuk digunakannya pendekatan kesejahteraan sosial sebagai upaya rehabilitasi dan moderasi (versi pemerintah: deradikalisasi).
Perdebatan menyangkut ketentuan hukum acara pidana. Seperti, berapa lama penahanan tanpa alat bukti permulaan yang cukup dan kapan penyadapan bisa dilakukan?
Kemudian, soal kesejahteraan, siapa yang bertanggungjawab? UU lain mengatur, urusan rehabilitasi dan kesejahteraan adalah tanggungjawab Kementerian Sosial. Termasuk pembinaan mantan napi.
Soal penahanan tadi, perdebatannya, kepada perangkat mana kewenangan itu harus diberikan? Polri, BNPT, BIN, TNI atau ada porsi kewenangan masing-masing? Juga langkah lain seperti penyadapan, undercover mission, dan lain-lain.
Masalahnya, kepercayaan publik terhadap itikad baik penguasa sangat rendah. Ini bukan soal siapa rezim saat ini.
Taruhlah rezim saat ini dinilai sebagai rezim yang baik dan pro demokrasi. Tapi payung hukum kan harus mengantisipasi juga kemungkinan terburuk.
UU itu tak boleh memberi peluang malapraktik. Apalagi ternyata Revisi UU Tindak Pidana Terorisme ini belum punya rumusan normatif yang jelas tentang terorisme, radikalisme dan deradikalisasi itu sendiri.
Bagaimana jika rezim berganti, kemudian UU itu justru digunakan untuk soal-soal politik kekuasaan? Dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa seperti itu, semua rezim berpotensi ‘abuse’, menggunakan istrumen ini untuk menghabisi lawan politik, atau meredam aksi-aksi yang dinilai merongrong kekuasaannya. Seperti pada praktik subversif di masa lalu.
Kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini yang menurut saya masih lebih besar daripada ketakutan masyarakat pada ancaman teror itu sendiri. Kekhawatiran itu juga masih ditambah dengan fakta belum baiknya penegakan hukum di Indonesia.
Bagaimana soal peran TNI? Secara normatif, unsur terdepan pemberantasan terorisme ada pada BNPT, yang di dalamnya ada unsur Polri dan TNI juga. Sayangnya sampai hari ini posisinya paling lemah karena sebelumnya tak memiliki payung hukum setingkat Undang-Undang.
Padahal tugas pokok dan fungsinya sebagai penyelenggara utama upaya penanggulangan terorisme menuntutnya berkomunikasi efektif dengan unsur-unsur yang terlibat. Selain juga mampu mengkoordinasikan semua aktivitas penanggulangan terorisme.
Pada pengaturan soal BNPT, perlu dipertegas soal distribusi peran dan kewenangan masing-masing unsur seperti Polri, BIN, TNI. Misal, di level dan area mana saja TNI bisa, boleh dan harus dilibatkan. Tentang bagaimana koordinasi, penggerakan, pengendalian dan pengawasan dilakukan.
Itu penting agar tidak terjadi benturan dan overlap peran/kewenangan yang justru berpotensi mengacaukan upaya pemberantasan terorisme.
Jadi, meski dibutuhkan, saya sih berharap para wakil rakyat yang membahas rancangan UU itu selalu mengedepankan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan warga sipil, dan rule of law.
Sehingga UU hasil revisi itu nantinya benar-benar menciptakan rasa aman dan tetap nyaman dalam kerangka berdemokrasi yang sehat.
Oleh Khairul Fahmi, Institute For Security and Strategic Studies (ISESS)