KedaiPena.Com – Sulit berharap perjalanan pemerintahan lima tahun ke depan yang lebih baik, transparan, dan bersih. Hal ini berhubungan dengan hal yang ramai dan dipermasalahkan publik revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Demikian dikatakan Pemerhati Politik M Rizal Fadillah dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com, Minggu (16/9/2019).
“Penggunaan Hak Inisiatif DPR ini (terkait revisi UU KPK) disetujui oleh Pemerintah Jokowi. Semua tahu keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu mengurangi kewenangan KPK. Baik DPR maupun pemerintah menjadi pihak yang terbanyak menjadi pesakitan KPK dalam proses hukum tindak pidana korupsi. Dengan kelemahan yang ada, KPK telah berbuat banyak untuk menekan dan menindak pelaku korupsi,” papar Rizal.
Reaksi masyarakat cukup marak. Banyak lembaga yang menolak revisi mulai dari ormas, perguruan tinggi, hingga lembaga lintas agama. Dirasakan ada upaya pelemahan bahkan “pembunuhan” peran komisi antirasuah ini.
“Sejarah sedang dibuat. Bukan sejarah bertinta emas akan tetapi hitam kelam. Hukum bukan menindak pelaku kriminal tapi hukum menjadi pelaku kriminalitas itu sendiri. Hukum yang membuka celah mempersilahkan atau menolong orang yang mencuri atau merampok uang negara. Inilah ironi negara hukum,” kecewa dia.
Persoalan sensitif elemen pembunuhan antara lain KPK menjadi lembaga Pemerintah, penyelidik dan penyidik yang tidak otonom, penyadapan harus izin dewan pengawas, penuntutan koordinasi kejaksaan, dibuka kran penghentian penyidikan, dan lainnya. Intinya KPK akan terkebiri.
“Jika revisi seperti ini terjadi, maka KPK tidak menjadi lembaga efektif pemberantasan korupsi. Nampaknya ini sejalan dengan arah bahwa soal korupsi ke depan masuk dalam ruang kewenangan kepolisian semata. Kini ketua KPK terpilih nyatanya dari unsur kepolisian. Agenda yang nampaknya sudah terencana sistematis,” ujarnya.
Pemberantasan korupsi di simpang jalan. Dengan kompetensi KPK yang luas dan otonom saja rasanya korupsi sulit diberantas. Apalagi dengan KPK terkebiri maka diprediksi korupsi semakin berkembang dan membudaya dengan efek jera yang minim.
“Bukan saja pemberantasan korupsi yang di simpang jalan, akan tetapi Indonesia pun berada di simpang jalan. Persoalan kedaulatan, beban utang, krisis kepemimpinan, rapuhnya moralitas, dan arah pengelolaan negara yang kabur. Ditambah kini perangkat pemberantasan korupsi yang terkebiri. Quo vadis rezim Jokowi,” tandas pria yang tinggal di Bandung ini.
Laporan: Muhammad Lutfi