KedaiPena.Com – Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan keputusan seluruh fraksi di DPR yang menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR.
Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) kemarin.
Keputusan untuk merevisi Undang-undang KPK nomor 30 tahun 2002 sontak mendapatkan respon negatif dari penggiat korupsi. KPK sebagai pelaksana Undang-undang secara terang-terangan mengaku dirugikan dengan revisi tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, Arteria Dahlan menghormati penuh penolakan yang ditunjukan oleh semua pihak terkait dengan revisi UU tersebut.
Meski demikian, Arteria memastikan, revisi UU yang disetujui seluruh fraksi di DPR ini sedianya telah merefleksikan suara rakyat secara bulat.
“DPR memperhatikan dan membahas secara khidmat dan hati-hati setiap dan segala masukan dihadirkan tanpa kecuali,” ujar Arteria saat berbincang dengan KedaiPena.Com, Jumat, (6/8/2019).
Arteria pun memahami suasana kebatinan yang dirasakan oleh punggawa yang berada di KPK. Meski demikian, Arteria sekali lagi memastikan bahwa revisi ini justru memberikan penguatan bagi KPK.
“Fokusnya pada dasarnya melakukan perbaikan dan penyempurnaan sistem dan kelembagaan KPK. Makanya sebaiknya sebagai bagian dari lembaga atau institusi negara, KPK atau Pimpinan KPK sebaiknya tidak perlu untuk memberikan pernyataan menolak,” beber Arteria.
Arteria menyarankan sebagai pimpinan lembaga kan sudah disumpah jabatan untuk menjalankan UU selurus-lurusnya. Senada dengan itu, revisi ini merupakan kewenangan pemerintah bersama DPR.
“Sebaiknya KPK menghormati ini sebagian dari proses kenegaraan yang harus dihormati dan dipatuhi,” beber Arteria.
KPK Jangan Paranoid dengan Kehadiran Dewan Pengawas dan Pasal Penyadapan
Arteria menjelaskan kehadiran Dewan Pengawas yang bertugas untuk mengawasi kinerja termasuk penyadapan sedianya menjadi pelajaran penting bagi KPK.
“Ini pelajaran penting bagi kita semua khususnya KPK. Awalnya kan kita tidak pernah memikirkan kehadiran dewan pengawas dalam konteks penyadapan. Tapi penyadapan hanya butuh ijin ketua pengadilan, sebagaimana berlaku universal di hampir semua negara,” imbuh Arteria.
Arteria meminta agar KPK tidak paranoid lantaran hal ini merupakan sebuah kewajaran dalam penegakan hukum.
“Katanya kalau diberikan kewenangan penerbitan ijin penyadapan kepada hakim akan bocor dan sebagainya. Padahal itu kan hanya karena mereka paranoid atau tepatnya kekhawatiran atas prsangka berlebihan yang sama sekali jauh dari fakta,” tegas Arteria.
“Semua OTT BNN, Teroris dan lain-lain itu kan lewat ketua pengadilan dan toh terbukti tidak bocor. Karena tidak percaya hakim, maka kewenangan diberikan ke dewan pengawas diharapkan dapat lebih akuntanbel,” lanjut Arteria.
Arteria memastikan keberadaan Dewan Pengawas dalam konteks penyadapan bukanlah hal yang baru dan mekanisme terkait tata cara penyadapan pun telah ada sebelumnya di draft revisinya tahun 2017.
KPK Merasa Dilemahkan
Ada sembilan persoalan dalam Rancangan Undang-Undang KPK yang berisiko melumpuhkan Kerja KPK. Persoalan paling utama, yakni independensi KPK terancam.
“KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun karena KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK kemarin.
Sebagai lembaga pemerintahan, pegawai KPK masuk dalam kategori ASN sehingga hal ini akan berisiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.
Persoalan kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi, di mana penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas.
“Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup sehingga bukti-bukti dari penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi,” ungkap Agus.
“Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK,” tambah Agus.
Agus juga mempermasalahkan batas waktu tiga bulan untuk penyadapan. Berdasarkan pengalaman KPK menangani kasus korupsi, ia mengatakan, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang.
“Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang. Polemik tentang penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan,” tegas Agus.
Persoalan ketiga, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya.
Keberadaan dewan pengawas, menurut Agus, menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin, seperti: penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan
Untuk point keempat, lanjut Agus, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS.
Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.
Selama ini, ia menambahkan, proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber.
Selain itu, ia mengatakan, lembaga-lembaga KPK di negara lain telah menerapkan sumber terbuka penyidik. Penyidik pada lembaga antirasuah di Singapura, Hongkong, dan Malaysia tidak harus dari kepolisian.
Point kelima, tegas Agus, penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, yang berisiko mereduksi independensi KPK. Selain itu, aturan ini akan berdampak pada makin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara.
Sedangkan point keenam, tambah Agus, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.
Persoalan ketujuh, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas. Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan sehingga KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK.
Kedelapan, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. Misalnya, pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi dan meminta bantuan Polri dan Interpol
Terakhir, ia menyatakan, lewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara.
Akibatnya, posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi. Padahal, selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi.
Laporan: Muhammad Hafidh