SETELAH mendapat desakan publik yang cukup massif, atas berbagai persoalan yang mengemuka dalam implementasi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), akhirnya DPR dan Pemerintah hari ini (27/10), menyetujui adanya perubahan terhadap sejumlah pasal dalam undang-undang ini. Sayangnya, hasil perubahan tersebut nampaknya jauh dari yang diharapkan publik, sekaligus belum mampu menjawab tantangan aktual dalam pemanfaatan teknologi internet hari ini.
Hukum memang selalu tertinggal dari perkembangan dan inovasi teknologi yang berjalan sangat cepat. Oleh karenanya diperlukan suatu akselerasi hukum, sekaligus dukungan arsitektur lainnya, seperti sosial dan teknologi, untuk mampu menjawab berbagai kebutuhan dalam pemanfaatan internet.
Dalam konteks ini, hukum harus mampu menjembatani beragam arsitektur yang menopang pemanfaatan internet, sekaligus menjembatani transformasi tantangan dari yang semula sebatas offline (konvensional), kemudian berubah menjadi online (dalam jaringan). Namun demikian, mencermati hasil revisi UU ITE yang disetujui DPR, terlihat hasil yang belum mampu menjawab sejumlah kebutuhan tersebut. Dikatakan Peneliti ELSAM, Wahyudi Djafar, “revisi ini hanya bersifat tambal sulam (tactical), tanpa menyentuh persoalan dan kebutuhan pokok dari suatu undang-undang yang mengatur internetâ€.
Revisi yang tambal sulam dan tidak menjawab persoalan pokok dari UU ITE ini nampak dari sejumlah materi yang disepakati, diantaranya: (1) ambigunya rumusan yang mengatur mengenai konten internet, dengan sebatas pemberian kewenangan pemutusan akses bagi pemerintah; (2) munculnya rumusan baru, seperti hak atas penghapusan informasi (right to be forgotten), tanpa dilengkapi dengan syarat dan prosedur yang memadai; (3) persoalan dalam pengaturan pidana yang belum mampu meminimalisir pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, khususnya kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah (legitimate expression).
Dalam materi hasil revisi (Pasal 40) disisipkan materi baru mengenai kewenangan pemeritahan untuk melakukan pemutusan akses terhadap muatan/konten internet yang dilarang, termasuk memberikan perintah kepada internet service provider (ISP) untuk melakukan pemutusan.
Rumusan ini sangat terkesan sebatas memberikan legitimasi bagi eksisnya Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs-Situs Internet Bermuatan Negatif. Pemberian wewenang mutlak kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses juga secara politik berbahaya, mengingat besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Selain itu, rumusan ini juga jauh dari standar hak asasi manusia dalam pemutusan (blocking) konten internet, yang menghendaki adanya kejelasan batasan konten/muatan internet yang dapat dibatasi; prosedur dalam pembatasannya, termasuk mekanisme pemulihannya; dan keharusan wewenangnya diserahkan kepada suatu badan yang independen, bebas dari kepentingan politik dan ekonomi.
Pun demikian, dengan ketentuan baru yang disisipkan di dalam Pasal 26, terkait dengan penghapusan informasi yang dinilai tidak relevan. Perumusannya juga jauh dari prinsip-prinsip right to be forgotten. Dalam hal ini, selain harus dilakukan melalui penetapan pengadilan, setiap kebijakan penghapusan data pribadi haruslah diselaraskan dengan persyaratan minimum penghapusan data yaitu: individu harus diberitahukan mengenai tindakan penghapusan data yang dilakukan dan diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan terhadap keputusan penghapusan data; penghapusan data pribadi harus dibatasi berdasarkan penentuan jenis-jenis data pribadi yang sah untuk dilakukan penghapusan, dan penyedia jasa yang terkait, otoritas publik dan pengadilan harus melakukan pelaporan secara terbuka (transparency) mengenai keputusan yang berkaitan dengan penghapusan atas informasi pribadi.
Sejumlah pra-syarat tersebut tidak terlihat di dalam rumusan yang dihasilkan, sehingga munculnya pasal ini justru memunculkan kesan, pasal ini sarat dengan kepentingan politik.
Dalam situasi negara dengan tingkat impunitas yang tinggi seperti Indonesia, pengaturan seperti ini hanya akan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menghilangkan rekam jejak informasi pribadinya, atas dugaan berbagai kasus yang terjadi, seperti pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Selain itu, belum adanya pemahaman yang kuat tentang data-data yang masuk kategori data pribadi atau data yang bisa diakses publik, dengan adanya rumusan ini, juga akan menyulitkan publik untuk mengakses rekam jejak kontestan politik yang akan mereka pilih, sebab ada potensi mereka juga akan menghilangkan sebagian rekam jejaknya di masa lalu.
Sedangkan terkait dengan ketentuan pidana, khususnya pidana pencemaran nama baik, pemerintah dan DPR juga gagal untuk menghadirkan kepastian hukum, dengan sepenuhnya menghapus ketentuan pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE (Pasal 27 ayat (3)), dan mengembalikan sepenuhnya kepada KUHP. Mengingat saat ini DPR dan pemerintah juga tengah melakukan proses pembahasan RKUHP, yang prosesnya telah memasuki tahapan Buku II (Delik).
Semata-mata penurunan ancaman pidana penjara dari 6 tahun menjadi 4 tahun, dan pidana denda dari 1 milyar rupiah menjadi 750 juta rupiah, tentu tidak menjawab permasalahan utama dari ketentuan Pasal 27 ayat (3). Sebab masalah utama dari ketentuan ini ialah terletak pada ketidakpastian hukum yang diciptakannya, mengingat pada kesempatan yang sama warga negara juga diancam dengan aturan yang serupa di KUHP.
Sekali lagi dengan capaian yang demikian, nampak bahwa pemerintah dan DPR sebagai otoritas pembentuk undang-undang, belum mampu sepenuhnya mengintegrasikan berbagai komitmen dan prinsip hak asasi manusia di dalam materi UU ITE. Hal ini juga sekaligus memperlihatkan kegagapan pembentuk kebijakan di dalam menyikapi perkembangan baru dalam pemanfaatan internet yang sangat cepat, sehingga respon yang diberikan pun sifatnya tambal sulam, tanpa menyentuh masalah pokoknya.
Dengan revisi yang demikian, justru materi UU ITE nantinya, selain belum mampu mengurangi berbagai persoalan yang mengemuka hari ini, seperti kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah, juga sangat berpotensi memberikan ancaman kembali terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia, terutama hak atas informasi yang baru kita nikmati dalam beberapa tahun ini.
Oleh Wahyudi Djafar, Deputi Direktur PSDHAM ELSAM