TAK pelak lagi, ‘tax amnesty’ alias pengampunan pajak telah menjadi program yang sangat menghebohkan. Diawali dengan percaya diri yang kelewat tinggi, pemerintah menyodorkan RUU ‘Tax Amnesty’ ke DPR dengan target tinggi bak hendak menggapai awan.Â
Awalnya, sekelompok orang yang merasa menjadi wakil rakyat yang bermarkas di Senayan sibuk menepis. Namun sim salabim, entah apa yang terjadi, paska naiknya Setya Novanto menjadi nakhoda Partai Golkar, RUU ‘Tax Amnesty’ menggelinding mulus di DPR. Ia pun disahkan menjadi UU. Adakah deal-deal khusus antara Pemerintah dan DPR? Hanya Allah, mereka, dan para setan serta iblis penghuni neraka yang mengetahui.
Sejak saat itu, mulailah Pemerintah punya hajatan baru. Sosialisasi amnesti pajak ke para pengusaha. Tak kurang dari Presiden Jokowi dan Menkeu hasil reshuffle jilid dua, Sri Mulyani Indrawati (SMI), sibuk keliling jualan barang ini.Â
Mereka sering duet, bahkan sampai ke Singapura. Menurut SMI, sosialisasi yang dihadiri Presiden jumlahnya mencapai 10.000 orang. Jumlah itu tidak termasuk acara sosialisasi yang diselanggarakan di Hotel Berbintang Lima di kota Surabaya, yang konon dihadiri 27.000 orang. Tapi sejauh ini yang ikut ‘tax amnesty’ sampai sekarang baru 1.300 orang.Â
Kehebohan juga merambah dunia media. Sejumlah media mainstream kebanjiran iklan. Kementerian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak, selaku ‘shohibul hajat’, menggerojok mereka dengan iklan-iklan berwarna minimal setengah halaman. Banyak juga yang kebagian satu halaman penuh full colour.Â
Entah berapa banyak dana yang digelontorkan untuk ‘media placement’ ini. Sekadar info saja, untuk iklan warna satu halaman penuh di sebuah media nasional mainstream, angkanya menembus jauh di atas Rp1 miliar. Jadi, silakan kalkulasikan saja besarnya uang rakyat yang digunakan untuk foya-foya ini.‎
Kabarnya, Pemerintah sudah menyiapkan anggaran kegiatan sosialisasi untuk seluruh provinsi dalam hitungan ratusan miliar rupiah. Angkanya bakal lebih menggelembung lagi kalau kampanye langsung dilakukan oleh RI-1. Lha wong biaya perjalanan dinas dan pengamanannya saja sudah demikian besar.
Bandingkan dengan Australia yang pernah menggulirkan program serupa pada 2014 silam. Anggaran kampanye mereka relatif sangat kecil. Pemerintah Australia tidak merogoh kocek dalam-dalam untuk kampanye langsung. Mereka juga tidak menggerojok media. Pasalnya, pengampunan pajak adalah isu yang sangat seksi. Itu artinya, awak media dengan sendirinya bakal berebut meliput beritanya.
Hasil ‘seupil’
Sekarang kita kuliti, bagaimana hasil program yang telah superheboh dan menyedot sumber daya dan sumber dana pemerintah, eh rakyat ini. Â Faktanya, program pengampunan pajak yang sudah berjalan lebih dari sebulan hasilnya sangat rendah.Â
Situs resmi Ditjen Pajak menyebutkan, surat pernyataan harta yang masuk sampai pekan silam baru 4.203. Jumlah harta yang  dilaporkan Rp26,7 triliun. Angka itu terdiri atas deklarasi harta dalam negeri Rp22,7 triliun, deklarasi dana yang diparkir luar negeri Rp2,97 triliun.Â
Sedikit ya? Tapi, eit, jumlah yang sedikit itu barulah deklarasi alias yang dilaporkan. Sedangkan kalau bicara yang dipatriasi atawa dikembalikan, jumlahnya lebih mini lagi. Sampai 17/8/2016, dana yang  berhasil pulang kampung hanya Rp 1,14 triliun. Tentu saja, jumlah ini masih jauh dari target repatriasi amnesti pajak mencapai Rp1.000 triliun hingga 31 Maret 2017.
Kita akan semakin miris lagi, manakala menengok duit yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak. Jumlahnya hanya Rp544,8 miliar. Dari angka-angka itu, menurut Wapres Jusuf Kalla (JK), rata-rata tiap orang baru membayar Rp250 juta. Hmm…
Sepertinya target menggaet dana pulang kandang sebesar Rp1.000an triliun hanyalah ilusi belaka. Begitu juga dengan penerimaan pajak dari ‘tax amnesty’ yang mencapai Rp165 triliun, bagai jauh panggang dari api.
Jika mujur, paling banter pajak yang bisa dijaring dari sini hanya sekitar Rp60 triliun. Bahkan Bank Indonesia (BI) menghitung angkanya bakal mentok maksimal di Rp59 triliun.
Program panikÂ
Sejatinya, pengampunan pajak adalah salah satu wujud kepanikan pemerintah dalam soal anggaran. Setelah sejumlah asumsi makro meleset, nasib anggaran memang rawan jebol.Â
Jumlah defisit dipastikan bakal membengkak. Angkanya naik dari Rp273,2 triliun atau 2,15% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi Rp313,3 triliun atau 2,48%. Pemerintah berharap, bolong itu bisa (sedikit) ditambal dengan pajak dari pengampunan pajak.Â
Sebetulnya ada solusi yang jauh lebih cantik. Tanpa grubak-grubuk, hasilnya jauh lebih fantastis. Cara menggaet duit itu dilakukan melalui revaluasi aset. Betapa tidak, aset BUMN yang melakukan revaluasi aset melonjak Rp800 triliunAngka ini adalah jumlah kenaikan aset BUMN sepanjang 2015.Â
Sumbangan terbesar atas lonjakan aset itu diperoleh dari revaluasi aset 43 BUMN dan 19 anak perusahaannya. PLN (Persero) saja  asetnya bertambah Rp653,4 triliun. Dengan begitu total asetnya menjadi Rp1.227 triliun.Â
Kebijakan revaluasi aset ini buah dari gagasan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli sebelum terpental dari kabinet pada reshuffle 27 Juli silam. Â Usulnya ini disetujui dan menjadi keputusan sidang kabinet terbatas di Istana sebelumnya.
Waktu itu, dia berhasil meyakinkan Jokowi dan para menteri lainnya, tentang pentingnya revaluasi aset. Lewat cara ini, dia yakin ekonomi dapat dipacu hingga tumbuh di atas 6%. Saat ini ekonomi hanya tumbuh 5,02% di bawah target yang 5,5%.
Sayangnya, kebijakan revaluasi aset BUMN tersebut akhirnya dilaksanakan setengah hati bahkan akhirnya berhenti total. Kendati begitu, revaluasi aset terbukti berhasil menangguk pajak sekitar Rp20 triliun.Â
Dari PLN saja, jumlah pajak yang disetor ke negara mencapai Rp19an triliun. Kalau tidak salah, PLN baru menyetor Rp6,2 triliun. Karena kalau dipaksakan setor sekaligus, bisa membahayakan ‘cash flow’ pabrik setrum itu.
Jika PLN sudah menyetor penuh, jumlahnya bisa membengkak lagi menjadi sekitar Rp33 triliun. Tentu saja angka ini jauh lebih tinggi daripada target sebelumnya yang dipatok Rp10 triliun.Â
Dibandingkan dengan perolehan pajak dari pengampunan pajak yang cuma Rp544,8 miliar, maka pajak revaluasi aset bisa disebut superjumbo. Dengan begitu membuang revaluasi aset dan menggenjot tax amnesty, bak mencampakkan berlian dan memungut gundu alias kelereng.
Jurus dahsyat
Kedahsyatan revaluasi aset ternyata bukan sekadar bisa jadi jurus ampuh menggaet dana untuk APBN. Masih banyak benefit lainnya. Pertama, revaluasi dengan sendirinya membuat nilai aset perusahaan naik hingga berkali lipat. Kedua, jika (sebagian dari) selisih aset paska revaluasi disuntikkan ke modal, maka modal perusahaan melonjak. Bonafiditas perusahaan yang modalnya besar tentu lebih baik daripada yang pas-pasan. Kemampuan perusahaan untuk menutup risiko juga bertambah.
Ketiga, kinerja keuangan yang membaik akan memberi ‘leverage’ perusahaan dalam menjaring dana secara massif dan, yang lebih penting lagi, murah. Perusahaan bisa meraup dana segar lewat ‘initial public offering’ (IPO), ‘secondary public offering’ (SPO), ‘rights issue’, penerbitan obligasi, juga pinjaman bank.
Keempat, dengan modal dan pendanaan yang kuat, perusahaan bisa melakukan berbagai aksi korporasi. Ini artinya, akan lebih banyak tenaga kerja yang bisa terserap. Dengan begitu, soal pengangguran yang selama ini jadi problem pemerintah, bisa ikut teratasi.
Kelima, revaluasi aset memberi penerimaan bagi pemerintah dari pajak. Keenam, relaksasi perpajakan terkait revaluasi aset yang cuma berkisar 3-6% sampai akhir semester 2016, bakal memacu pertumbuhan ekonomi. Paling tidak, pada tahap awal akan ada banyak profesi yang ketiban rejeki. Mereka yang sudah pasti kebagian job adalah para appraisal alias penilai aset. Lalu, akuntan publik, notaris, konsultan pajak juga ikut kecipratan rejeki.Â
Ketujuh, upaya perusahaan mengail dana setelah asetnya naik dengan sendirinya membuat sejumlah profesi lain kebagian rejeki. Mereka di antaranya para ‘underwriter’, manajer investasi, bahkan ‘public relations’ dalam upayanya menikkan citra positif perusahaan.
Hebatnya lagi, mereka akan rajin promosi ke dalam dan luar negeri tentang perusahaan yang bersangkutan khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Ini jelas bisa menjadi promosi gratis sekaligus berkredibilitas tinggi.Â
Gratis, karena tidak perlu mengalokasikan bujet mahal untuk promosi dan beriklan. Kredibilitas tinggi, karena yang berpromosi bukanlah pejabat birokrasi. Promosi yang dilakukan sesama swasta, membuat tingkat kepercayaan calon investor bisa dipastikan lebih tinggi.
Sayangnya, program ciamik ini sepertinya tidak terendus Jokowi dan para pembantunya di bidang ekonomi dengan baik. Apalagi setelah masuknya SMI, hampir dipastikan dia akan menempuh cara lama yang serba gampang untuk menambal APBN.Â
Yaitu, utang lagi dan lagi. Kalau sudah begini, lagu Gali Lobang Tutup Lobang-nya bang haji Rhoma Irama bakal kalah pamor.  Betapa tidak, lha wong lagunya berubah jadi gali lobang uruk empang.‎‎
Oleh Edy Mulyadi, ‎Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)