KedaiPena.Com- Kekerasan dan perundungan di lingkungan pondok pesantren yang belakangan muncul harus disikapi serius oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Langkah pencegahan harus dikedepankan melalui instrumen edukasi di lingkungan pondok pesantren. Peran pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) harus pro aktif melakukan pencegahan kekerasan di lingkungan pesantren.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Pendidikan (Puskapdik) Satibi Satori mengatakan kekerasan dan perundungan di lingkungan pesantren harus mendapat perhatian serius oleh pemangku kepentingan. Menurut dia, tiga langkah pararel harus segera dilakukan.
“Pertama penegakan hukum kepada pelaku secara adil dan transparan. Kedua, pemerintah melalui Kementerian Agama segera menerbitkan regulasi pencegahan kekerasan di lingkungan pesantren. Ketiga, pemerintah juga harus pro aktif mendata pesantren di Indonesia,” ujar Satibi, Kamis,(29/2/2024).
Sebelumnya, Kementerian Agama telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Saat ini, kata Satibi, Kementerian Agama sebaiknya melengkapi regulasi untuk memastikan pencegahan kekerasan di satuan pendidikan pada Kementerian Agama.
“Regulasi pencegahan kekerasan di satuan pendidikan pada Kementerian Agama, di antaranya pondok pesantren relevan untuk diterbitkan,” saran Satibi.
Kendati demikian, Satibi menyebutkan langkah preventif tetap menjadi langkah utama agar peristiwa serupa tidak terulang kembali di waktu mendatang. Menurut dia, pencegahan kekerasan dimulai dari pendataan penyelenggara pesantren.
Dari pendataan pesantren, kata Satibi, pemerintah dan masyarakat dapat melakukan langkah kolaboratif dengan penyelenggara pendidikan pesantren termasuk di antaranya pencegahan kekerasan di lingkungan pesantren.
“Data pesantren memandu pemerintah untuk bekerjasama dengan pesantren sekaligus mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti peristiwa kekerasan ini,” ucap Satibi
Meski, kata Satibi, dalam UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren disebutkan pesantren pro atif mendaftar keberadaan pesantren ke pemerintah, namun pemerintah mestinya pro aktif dengan melakukan edukasi dan pendataan.
Menurut dia, pesantren lahir dan tumbuh bersama-sama masyarakat. Di sisi lain, pemerintah memiliki perangkat paling bawah seperti RT, RW, Desa, dan Kecamatan.
“Mestinya, keberadaan pesantren di sebuah wilayah dapat diketahui oleh struktur pemerintah paling bawah. Jadi tidak ada lagi cerita, pesantren belum terdaftar di Kementerian Agama. Pemerintah harus aktif melakukan edukasi dan pendataan,” tegas Satibi.
Kandidat Doktor Pendidikan di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta ini menambahkan, peristiwa kekerasan di lingkungan pesantren agar segera dimitigasi oleh pelbagai pihak untuk memastikan tidak ada kekerasan di lingkungan pesantren.
“Kerjasama pengasuh, pembina, santri dan wali santri sangat penting untuk mencegah kekekerasan di lingkungan pesantren, ini kunci. Kekerasan yang terjadi di pesantren tidak lantas melakukan generalisasi kepada seluruh pesantren,” ingat Satibi.
Pesantren, kata Satibi, pada dasarnya tidak sekadar mengajarkan khazanah keislaman semata, namun juga memberi pelajaran kehidupan yang baik bagi santri. Dia menyebutkan pesantren mengajarkan sikap guyub, solidaritas, kerjasama, tenggang rasa, dan toleran antar santri.
“Pesantren memberi pelajaran berharga bagi tumbuh kembang santri,” tegas alumni pesantren di Babakan, Ciwaringin, Cirebon ini.
Sebagaimana maklum, sebelumnya seorang santri asal Banyuwangi meninggal dunia karena menjadi korban kekerasan di sebuah pesantren di Kediri, Jawa Timur.
Saat ini, Polri tengah melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Polisi telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya seorang santri.
Laporan: Tim Kedai Pena