BEBERAPA hari ini wacana bakal terjadinya reshuffle kabinet kembali berkembang. Dari diskursus kocok ulang kabinet yang berkembang, benang merah yang terbentang, perlunya Presiden mengganti para menteri di bidang ekonomi. Dua sosok yang paling banyak disebut adalah Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Bisa dipahami kalau dua orang itu termasuk yang paling banyak ‘dinominasikan’ untuk diganti. Pasalnya, keduanya adalah pejabat publik yang paling bertanggungjawab atas jatuh-bangunnya perekonomian Indonesia.
Sayangnya, selama menjadi menteri, keduanya bisa dikatakan nyaris tidak menunjukkan prestasi yang menonjol. Darmin, misalnya, sejak didapuk sebagai Menko Perekonomian pada Agustus 2015, kinerjanya masuk kategori biasa-biasa saja, kalau tidak mau disebut di bawah banderol.
Rekam jejaknya yang puluhan tahun malang-melintang di dunia keuangan, perbankan, dan moneter, tidak memberi bekal dan bekas pada posisinya kini. Dia, seperti yang sudah-sudah, bekerja dengan sangat konservatif. Tidak ada kebijakan terobosan yang mampu mem-booster perekonomian. Bahkan 14 paket ekonomi yang digelontorkan pun, hingga kini adem-ayem belaka.
Kinerja minus
Fakta ini sebetulnya sama sekali tidak mengejutkan. Memang begitulah Darmin, semuanya serba biasa-biasa saja, bahkan bisa disebut minus. Saat menjadi Dirjen Pajak (2006-2009), misalnya, penerimaan pajak meleset Rp 41 triliun dari target. Kegagalan serupa kembali diulangi pada 2007. Saat itu realisasinya hanya Rp 382 triliun, atau kurang Rp 13 triliun dari target.
Padahal, target-target itu sejatinya sudah diturunkan dari sebelumnya. Dalam periode 2006-2009, kala Dirjen Pajak Darmin Nasution berduet dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, target penerimaan pajak di APBN memang selalu diturunkan melalui pembahasan APBN-P. Total koreksi penerimaan pajak dalam APBN-P mencapai Rp 81 triliun.
Empat tahun eforia reformasi perpajakan yang digembar-gemborkan pasangan Sri dan Darmin, ternyata semuanya meleset. Lebih tragis lagi, reformasi perpajakan itu menelan biaya luar biasa besar, Rp 4 triliun lebih yang sumber pendanaannya dari utang luar negeri. Tapi hasilnya? Perolehan pajak tidak kunjung terdongkrak. Yang ada bahkan meletusnya skandal Gayus Tambunan, pegawai Pajak golongan III dengan deposito triliunan rupiah, yang menhebohkan itu.
Di era reformasi perpajakan itu pula justru terjadi berbagai kasus mafia pajak. Antara lain, skandal pajak Paulus Tumewu tahun 2006, skandal pajak HaÂliburton yang disetujui oleh Darmin hanya dalam tempo 12 hari kerja. Uniknya, unÂtuk soal yang satu ini, Dirjen PaÂjak sebelumnya Hadi PurÂÂÂÂÂnÂomo malah pernah meÂnolak menyetujuinya, selama empat tahun secara berturut-turut.
Nama Darmin berÂsama Direktur Utama PT SAT, Hindarto Gunawan, juga disebut-sebut dalam laporan Alamsyah HaÂnaÂfiah, pengacara mantan DiÂrekÂtur Keberatan Ditjen Pajak, Bambang Heru IsÂmiarso ketika itu. Surat Keputusan Pajak terkait PT SAT yang dikeluarkan DarÂmin selaku Dirjen Pajak meÂnÂyebabkan terjadinya tinÂdak pidana korupsi. Seharusnya Darmin juga masuk bui berÂsama dengan Gayus TamÂbunan dan tiga mantan peÂgaÂwai pajak lainÂnya, yakni HuÂÂÂmala SL NapiÂtupulu, MaÂruli Pandapotan MaÂnuÂrung, dan Bambang Heru IsÂmiaÂrso.
Sri, sang pejuang neolib
Bagaimana dengan Sri Mulyani? Setali tiga uang saja. Selama menjadi Menkeu, perempuan yang akrab disapa Ani itu juga lebih banyak beretorika. Berbagai kebijakannya tetap saja sarat dengan aroma neolib, satu mazhab ekonomi yang berhamba pada pasar bebas.
Pakem utama neolib adalah menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar. Biarkan pasar yang mengurus dirinya sendiri. Peran pemerintah harus dikurangi, kalau bisa, sampai tahap nihil. Segala bentuk intervensi pemerintah harus diminimalisasi. Subsidi adalah musuh utama pendistorsi pasar yang harus disirnakan.
Contoh terbaru bagaimana semangat neolib itu kembali ditunjukkan saat dia berbicara pada Seminar Ekonomi Makro, Senin (2/4) silam. Menurut dia, intervensi negara di bidang ekonomi tak selalu berdampak baik. Dominasi negara yang terlampau besar justru menghambat kemajuan, bahkan merusak.
Baginya, negara bisa maju kalau swasta diberi kebebasan untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Maka, swasta termasuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), harus didorong agar mandiri. Tidak boleh bergantung pada bantuan pemerintah.
Bicara soal UMKM adalah bicara soal keberpihakan. Negara harus berpihak untuk membantu dan membesarkan UMKM. Membiarkan UMKM berkompetisi secara bebas dengan perusahaan swasta besar, sama saja membiarkan anak TK bertinju melawan anak SMA. Sangat gampang ditebak ending-nya. Si anak TK akan babak-belur, terkapar. Mati!
Sebagai Menkeu yang penganut dan pejuang pasar bebas, Ani juga setia dengan buku teks yang dipelajarinya. Saat negara dideras krisis, misalnya, langkah awal yang dilakukannya adalah memotong anggaran. Tahun silam, dia menggunting anggaran hingga mencapai Rp 133,8 triliun. Tentu saja pemangkasan anggaran ini bakal mempersempit ruang gerak perekonomian Indonesia ke depan. Akibatnya akan sangat banyak program-program pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia yang mangkrak.
Cara lain yang biasa dilakukan memotong berbagai subsidi yang berdampak pada naiknya berbagai harga kebutuhan dasar rakyat seperti listrik, BBM, gas, dan lainnya. Jelas ini kebijakan yang bukan saja tidak kreatif, tapi juga malas!
Ani juga getol menyenangkan para majikan asingnya. Caranya antara lain dengan membuka pintu lebar-lebar masuknya investor asing lewat utang luar negeri. Bentuknya bisa berupa pinjaman dan atau penerbitan berbagai surat utang. Khusus yang disebut belakangan, Sri rajin mengobral obligasi dengan bunga supertinggi. Keruan saja dagangannya itu laris manis diborong para investor asing.
Atas jasa-jasanya menggerojok laba besar dari obligasi ke pundi-pundi asing inilah, Ani banyak menerima pujian. Mereka bahkan tidak segan mengganjarnya dengan berbagai penghargaan. Di antaranya Ani dinobatkan sebagai Menkeu terbaik di Asia versi Majalah Finance Asia. Di sela Sidang Tahunan Bank Dunia dan IMF di Singapura, majalah Emerging Market pada 2006 juga menobatkannya sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia untuk tahun 2006 oleh Emerging Markets pada 18 September 2006. Di tahun yang sama, majalah Euromoney menobatkannya sebagai Euromoney Finance Minister of the Year.
Skandal Bank Century
Rupanya jasa Ani terhadap investor asing sangat besar. Berbagai penghargaan yang diterimanya ternyata tidak cukup. Itulah sebabnya, saat dia terbelit skandal Bank Century yang merugikan negara Rp6,7 triliun, para majikan asingnya berupaya menyelamatkannya. Tidak tanggung-tanggung, mereka mengangkat Sri menjadiDirektur Pelaksana Bank Dunia.
Aroma penyelamatan Ani dari skandal Bank Century itu memang menyeruak dengan tajam. Tanpa operasi tersebut, bukan mustahil dia harus mendekam di balik juruji besi. Sebagai Menkeu, saat itu dia juga menjadi Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Nah posisinya inilah yang punya peran penting dalam skandal Bank Century.
Hingga kini, skandal dengan kerugian tiga kali lipat dari korupsi E-KTP itu cuma berhasil menjebloskan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya 15 tahun ke penjara. Sedangkan Sri dan Boediono (saat itu Gubernur Bank Indonesia) yang berperan sentral, bisa melenggang lolos dari jerat hukum.
Sekadar membuka file lama saja, saat skandal Bank Century merebak DPR, khususnya PDI-P, termasuk yang galak menyalak. Pada 2010, Ketua DPR Fraksi PDI Tjahjo Kumolo sempat menyatakan pihaknya secara resmi menolak kehadiran Menteri Keuangan Sri Mulyani mewakili pemerintah dalam setiap sidang, baik di Komisi XI maupun Badan Anggaran.
Jadi, bicara soal Sri Mulyani, kita tidak saja bicara soal pejabat yang tanpa prestasi selain mengobral utang dengan bunga supertinggi dan rajin memangkas anggaran yang berakibat kontraksi. Tapi kita juga tengah bicara seorang pejuang neolib yang dalam banyak kebijakannya banyak merugikan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia. Lebih dari itu, kita juga bicara tentang pejabat publik yang belum tuntas dari belitan kasus korupsi Bank Century dengan kerugian negara Rp6,7 triliun.
Dengan rentetan fakta seperti ini, akankah Presiden masih tetap mempertahankan yang bersangkutan di kabinet saat reshuffle jilid tiga terjadi? (*)
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)