PASAR saham dunia anjlok. Dan juga pasar saham Indonesia. Bahkan Indonesia merupakan salah satu yang paling parah. Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai barometer kinerja saham Indonesia turun tajam. Sejak dua bulan pertama 2020, indeks jatuh 12,13 persen, dari 6.299,54 (30 Desember 2019) menjadi 5.535,69 (27 Februari 2020). Dan ini merupakan indeks terendah selama 3 tahun terakhir.
Anjloknya indeks saham yang begitu tajam selama dua bulan ini menunjukkan prospek ekonomi 2020 sangat suram. Potensi resesi menjadi sangat riil. Mungkin hanya hitungan hari, minggu atau bulan saja. Sepertinya ekonomi Indonesia sulit bertahan dari badai Covid-19. Karena, secara fundamental, ekonomi Indonesia sangat lemah, dan sangat buruk.
Struktur industri Indonesia sangat buruk. Ekspor tergantung dari komoditas seperti batubara, minyak sawit, karet. Kalau harga komoditas andalan ekspor Indonesia anjlok, maka ekspor Indonesia juga turut anjlok. Di tengah lemahnya perekonomian global akibat wabah virus Corona, perdagangan internasional akan turun drastis. Dan harga komoditas juga akan turun tajam. Harga minyak mentah dan minyak sawit masing-masing sudah anjlok lebih dari 15 persen selama dua bulan pertama 2020.
Kombinasi permintaan global yang lemah dan turunnya harga komoditas membuat ekspor turun, akibat double impact.
Ekspor Januari 2020 turun 3,7 persen dibandingkan Januari 2019. Padahal ekspor 2019 juga sudah turun cukup besar dibandingkan 2018. Akibatnya, defisit neraca perdagangan pun berlanjut, menyusul defisit 2018 dan 2019. Defisit neraca perdagangan Januari 2020 tercatat cukup besar: 864,2 juta dolar AS. Yang lebih mengkhawatirkan, ekspor dan defisit neraca perdagangan pada bulan Februari ini bahkan bisa menggelembung lebih besar lagi, mengingat permasalahan virus Corona masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik.
Kemudian, struktur fiskal Indonesia juga sangat buruk. Rasio penerimaan pajak (termasuk bea dan cukai) terhadap PDB juga turun tajam. Dan sudah bisa dikategorikan kritis yang dapat memicu krisis APBN (fiskal), dan krisis valuta.
Penerimaan pajak Januari 2020 mengalami kontraksi dibandingkan Januari 2019. Turun sekitar 6 persen, dari Rp 90,04 triliun menjadi Rp 84,66 triliun. Rasio pajak Januari 2020 diperkirakan anjlok, bisa di bawah 7 persen saja. Akibatnya, belanja negara terkontraksi 9,1 persen. Ini yang dimaksud dengan krisis APBN dari sisi fiskal. Artinya, APBN tidak bisa diandalkan lagi untuk meningkatkan belanja negara, serta mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, APBN malah kontraksi tajam. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi juga akan terkoreksi tajam.
Anjloknya penerimaan negara membuat defisit APBN membengkak, dan utang pemerintah meningkat. Selama ini, pemerintah bahkan menarik utang jauh lebih besar dari defisit APBN. Dan sebagian besar penarikan utang tersebut diperoleh dari pinjaman asing, agar dapat memperoleh dolar AS untuk doping kurs rupiah.
Sampai akhir tahun lalu, kebijakan abnomal ini cukup berhasil. Kurs rupiah bisa menguat hingga Rp 13.500-an per dolar AS. Kebijakan abracadabra ini hanya bisa berhasil kalau kondisi ekonomi global lagi dalam kondisi baik. Dalam hal ini, investor global mempunyai kelebihan dana sehingga dapat membeli surat utang negara Indonesia.
Tetapi, dalam kondisi ekonomi global yang sedang melemah dan kontraksi, bahkan banyak negara diperkirakan masuk resesi, kondisi keuangan global menjadi sangat ketat. Para investor global cenderung menyimpan cash daripada aset (saham dan surat utang) yang harganya bisa anjlok, dan sekaligus untuk berjaga-jaga kalau kondisi ekonomi global menjadi lebih sulit. Oleh karena itu, mereka cenderung menjual aset dan portofolio investasinya untuk mendapatkan cash. Akibatnya, harga saham berguguran, dan indeks anjlok. Hasil dari penjualan saham dan surat utang negara tersebut akan dikonversi menjadi cash (dolar AS), dan terjadi capital outflow, yang tentu saja akan menekan kurs rupiah, yang dalam waktu sekejap saja anjlok lewat Rp 14.000 per dolar AS.
Kalau kondisi ekonomi global tidak segera membaik, pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2020 bisa turun tajam, bukan tidak mungkin di bawah 4 persen. Penerimaan negara akan semakin kritis, belanja negara kontraksi, defisit neraca perdagangan melebar, defisit APBN membengkak, dan penarikan utang menjadi sulit. Bahkan dolar kabur ke luar negeri (capital outflow). Kesemuanya itu membuat neraca pembayaran defisit tajam, cadangan devisa, dan kurs rupiah, merosot. Jangan kaget kalau dalam sekejap kurs rupiah anjlok ke Rp 14.500 per dolar AS, dan kembali lagi melewati Rp 15.000 per dolar AS, bahkan lebih.
Krisis ekonomi akan terasa pada triwulan I ini, dan semakin intens di triwulan II, yang bisa berubah menjadi resesi. Dan pemerintah tidak berdaya, kecuali menaikkan suku bunga untuk mengurangi dolar outflow, yang mana akan memperparah kondisi ekonomi.
PHK sepertinya sulit terhindarkan, khususnya di sektor ekspor dan impor (karena tidak memperoleh bahan baku) serta pariwisata.
Oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)