Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
KENAPA para tokoh bangsa sepakat negeri ini berbentuk republik, bukan kerajaan atau monarki?
“Karena dasar-dasar yang kita perbincangkan memberi dorongan bahwa negara yang akan dibentuk ialah negara Rakyat Indonesia, yang tersusun dalam suatu Republik Indonesia”.
Penegasan ini disampaikan Mohammad Yamin dalam pidato di sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), 29 Mei 1945.
Pembahasan tentang bentuk negara menjadi tema penting, yang diperdebatkan sejak rangkaian pertama sidang BPUPKI, setelah dasar negara dan undang-undang dasar.
Esensi sidang-sidang BPUPKI sejak awal intinya memang mengarah pada pembentukan negara dengan tatanegara modern, yaitu republik, yang menekankan kedaulatan di tangan rakyat.
Namun perdebatan tentu saja terjadi. Wongsonegoro misalnya mengusulkan supaya bentuk negara ditentukan oleh rakyat. Ki Bagoes Hadikoesoemo menolak republik dan monarki.
Ia menginginkan: “Negara dikepalai oleh seorang pemimpin yang tidak turun-temurun, dan dimufakati oleh rakyat, dengan pemerintahan yang berdasarkan rakyat dan permusyawaratan”.
Anggota lainnya mengusulkan unitarisme, federasi, republik, atau kerajaan, dan seterusnya.
Demikianlah dialektika pemikiran dan usulan mengenai bentuk negara dikemukakan oleh para pendiri bangsa di dalam sidang BPUPKI, yang pada 10 Juli 1945 akhirnya disepakati berbentuk republik.
Notulensi sidang juga mencatat hasil pemungutan suara dari 64 anggota BPUPKI. Yang memilih republik 55 orang, kerajaan 6 orang, lain-lain 2 orang, dan blanko 1 orang.
Jauh sebelumnya, pada 1925, Tan Malaka dengan ketajaman pikiran dan analisisnya telah menerbitkan risalah Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Konsepsi tentang bentuk negara untuk Indonesia yang merdeka.
Para pendiri bangsa menyadari bentuk negara kerajaan identik dengan feodalisme yang dapat menyuburkan penindasan dan paralel dengan kolonialisme.
Itulah sebabnya untuk memperpanjang penjajahan Belanda Van Mook dulu menggagas ide negara boneka (marionetten land), dengan memanfaatkan elit-elit bumiputera khianat untuk mendirikan federalisme dengan menghidupkan kembali semangat feodal kerajaan.
Pangeran Bernhard suami Ratu Belanda, Juliana, yang ingin jadi Oonderkoning (Raja Muda) juga mengambil peran, dengan mengirim Westerling. Teroris berseragam untuk membantai rakyat.
Bernhard yang bangsawan Jerman dan eks kader Nazi menganggap Juliana lemah, karena membiarkan Indonesia lepas setelah 350 tahun menjajah.
Ia ingin memperpanjang penjajahan Belanda dengan memecah Indonesia menjadi Uni Indonesia-Belanda, seperti Persemakmuran Britania Raya.
Tentang spirit feodalisme yang kembali nampak belakangan ini tokoh nasional Dr Rizal Ramli juga menyoroti, dengan adanya KUHP baru yang telah disahkan kini Indonesia seakan kembali memasuki era kolonialisme dan feodalisme.
Rizal Ramli, seperti halnya publik pada umumnya, juga menyoroti pesta megah pernikahan putra Jokowi, Kaesang, yang bagaikan pesta pernikahan kerajaan Inggris atau Belanda.
“Dengan KUHAP baru serasa negeri ini seperti memasuki era kolonial. Jokowi bersiap membangun kerajaan tiga periode,” tulis Rizal Ramli di akun Twitter-nya belum lama ini.
Rizal Ramli dan publik mencatat, pesta pernikahan Kaesang terkesan lebih megah dan monarch dari mantuan Sultan Jogja atau Solo.
“Barisan kereta kuda bagaikan pernikahan kerajaan Inggris atau Belanda. Dikawal 10.300 pasukan. Padahal di Papua TNI hanya 3000-an. Seperti metamorfosa, dari Jokowi presiden asal rakyat biasa, menjadi Jokowi Sang Raja yang lebih hebat dari Sultan Jogja atau Solo. Sweet revenge,” tulis Rizal Ramli lagi.
Tentang adanya upaya sekelompok orang yang mendorong agar masa jabatan Jokowi diperpanjang, Rizal Ramli mengatakan hal tersebut terjadi karena banyak elite politik Indonesia saat ini memiliki comorfid.
Comorfid yang dimaksud ialah
“banyak penyakit” berupa kasus-kasus hukum bawaan, sehingga mereka tersandera, gampang diperintahkan untuk mendukung kudeta konstitusi. Apalagi bandar sudah siap untuk mengongkosinya.
“Ibaratnya partiturnya sudah disiapkan, pemainnya sudah dilatih, dan bandarnya juga sudah siap bayar,” tegas Rizal Ramli mengibaratkan bahaya laten teroris konstitusi yang kemungkinan akan melakukan kudeta konstitusi, sehingga pemilu 2024 tidak ada dan Pilpres bubar.
[***]