Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Thaksin Shinawatra terpilih menjadi Perdana Menteri Thailand pada pemilu 2001, dan kemudian terpilih lagi pada pemilu 2005. Thaksin sangat populer khususnya di pedesaan.
Sebelumnya, Thaksin yang mempunyai later belakang seorang polisi, menjabat Menteri Luar Negeri pada 1994, dan kemudian Wakil Perdana Menteri pada 1995-1997.
Thaksin sukses mendirikan partai politik, Thai Rak Thai, pada 1998 yang kemudian membawanya menjadi Perdana Menteri pada 2001, dan kemudian 2005.
Pemerintahan Thaksin mengalami krisis politik setelah terpilih kedua kalinya pada 2005, hingga 2006. Rezim Thaksin dikenal otoriter sehingga menuai banyak protes khususnya dari kalangan demokrat yang menuntut Thanksin mundur.
Dengan latar belakang pengusaha yang sukses, menjadi orang terkaya di Thailand, Thaksin dituduh melakukan kecurangan pemilu dan korupsi selama berkuasa. Thaksin dituduh menyalahgunakan kekuasaan, dengan menerapkan “Korupsi Kebijakan”, Policy Corruption, yang menguntungkan dan memperkaya bisnisnya, dengan merugikan keuangan negara.
Pengadilan Thailand mendefinisikan “Korupsi Kebijakan” sebagai penyalahgunaan kekuasaan dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang, meskipun terlihat legal dan berpotensi menguntungkan masyarakat dan ekonomi, tetapi juga menguntungkan perusahaan yang sebagian dimiliki oleh pejabat pembuat kebijakan.
Pengadilan memutuskan Thaksin bersalah melakukan “Korupsi Kebijakan” yang merugikan keuangan negara dan menguntungkan perusahaannya, dan menyita kekayaannya senilai 46 miliar baht, atau setara 1,3 miliar dolar AS dengan kurs saat ini.
Puncak kegaduhan politik ini ketika Thaksin menjual kepemilikan sahamnya, Shin Corp., pada Februari 2006 kepada perusahaan Singapore, Temasek Holdings. Penjualan ini dianggap sebagai pengkhianatan kepada negara, menjual assets strategis kepada pihak asing.
Penjualan aset strategis ini seharusnya melanggar hukum. Tetapi Thaksin mengubah hukum agar bisa menjual aset strategis ke pihak asing seolah-olah sesuai peraturan.
Thaksin akhirnya diturunkan, alias dikudeta, oleh militer Thailand pada September 2006, ketika yang bersangkutan sedang berada di New York, Amerika Serikat, menghadiri pertemuan PBB.
Saat ini, terjadi juga di Indonesia hal yang mirip dengan peristiwa di Thailand tersebut di atas, yaitu penjualan assets strategis nasional kepada pihak asing.
Kementerian BUMN saat ini sedang “menjajakan” aset strategis nasional bandar udara Soekarno-Hatta ke operator pihak asing. Sebelumnya, bandar udara Kualanamu, Medan, dan Kertajati, Majalengka, sudah terlebih dahulu diserahkan kepada asing.
Kebijakan ini sangat bahaya, karena pengelola bandar udara internasional mengetahui secara detil lalu lintas penumpang, dan mudah membocorkan kepada pihak asing.
Contohnya, salah satu pegawai (orang thailand), Sivarak Chutipong, seorang teknisi yang bekerja di bandar udara Kamboja, yang dikelola pihak swasta, dituduh mata-mata dan membocorkan jadwal penerbangan Thaksin dan PM Kamboja Hun Sen kepada kedutaan besar Thailand di Kamboja. Sivarak Chutipong ditangkap dan dihukum penjara 7 tahun.
Selain itu, banyak kebijakan yang juga terindikasi koruptif, policy corruption, terjadi di Indonesia, seperti kebijakan harga test PCR, pemulihan ekonomi nasional, kartu prakerja, IKN, kereta cepat, pembangunan jalan tol oleh “Karya”, dan lainnya.
Akankah Korupsi Kebijakan dan penjualan assets strategis bandar udara internasional ini memicu protes besar dari kaum nasionalis dan militer?
[***]