KedaiPena.Com – Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur menyambut baik niatan pemerintah untuk melakukan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan uang Negara, termasuk dalam penggunaan utang. Efisiensi dan efektivitas penggunaan uang Negara penting untuk dilakukan bagi kepentingan publik. Untuk itu diperlukan rambu-rambu agar pencapaiannya dapat terukur.
Koalisi juga sepakat bahwa masalah utang Negara, bukan hanya beban dan tanggung jawab pemerintah yang sedang berkuasa, tetapi lintas rezim. Sehingga jelas bukan berarti, rezim berganti, maka beban utang akan hilang, tetapi akan terus diwariskan ke pemerintah yang akan datang.
Namun demikian, Koalisi mencatat ada beberapa permasalahan yang akan menghambat efektivitas penggunaan anggaran, yaitu pertama, kebijakan defisit dalam APBN, akan terus mendorong Indonesia untuk meminta utang baru setiap tahunnya. Angka ini hanyalah utang baru untuk menutup defisit anggaran, belum termasuk skema utang baru untuk pembiayaan proyek dan perubahan kebijakan. Pembiayaan yang berasal dari utang selama lima tahun belakangan ini dapat dilihat dari di Tabel 1.
Kedua, APBN juga menanggung beban pembayaran utang setiap tahunnya, termasuk pembayaran utang pokok dan bunga utang seperti dalam Tabel 2 di bawah ini. Sementara akumulasi total utang Indonesia sekarang ini mencapai 352.2 Milyar USD atau Rp. 4.754 Triliun (kurs 13.500).
Menurut Edo Rakhman dari perwakilan koalisi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), utang bukan hanya sekedar bikin heboh tetapi sudah dianggap sebagai “obat†untuk mengobati penyakit defisit keuangan negara setiap tahunnya. Bahkan dalam APBN Tahun Anggaran 2018 sebagaimana tertuang dalam UU No. 15 Tahun 2017 juga telah direncanakan untuk defisit yang diperkirakan sebesar 325,93 Triliun diluar pembiayaan investasi. Defisit disebabkan karena perkiraan Pendapatan Negara sebesar 1.894,72 Triliun sedangkan Belanja Negara diperkirakan sebesar 2.220,65 Triliun.â€
Dalam kondisi terus-terusan berutang baru, terus-terusan membayar utang dan semakin menggelembungnya total utang setiap tahunnya, tentu saja akan menggerogoti kapasitas APBN untuk membiayai pembangunan dan memenuhi kebutuhan dasar warga Negara.
“Kalau Menteri Keuangan menghimbau untuk mendudukkan masalah utang dalam konteks seluruh kebijakan ekonomi dan keuangan negara, maka bukan sebuah kesalahan juga jika masyarakat meminta pemerintah untuk lebih transparan dan lebih berhati-hati dalam mengelola dan mendistribusikan peruntukan utang tersebut,” ujar dia dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com, Minggu (9/4/2018).
Pembangunan infrastruktur ataupun program pemerintah yang menggunakan utang, seharusnya tidak menimbulkan konflik di tingkat masyarakat, tidak menghilangkan hak-hak masyarakat, tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, dan tidak mengabaikan fungsi serta kelestarian ekosistem serta lingkungan hidup.
Karena itu, diperlukan renegosiasi utang dengan lembaga keuangan internasional dan para kreditor untuk mengurangi tumpukan utang baru. Renegosiasi utang ini dapat dilakukan dengan mendorong penghapusan odious debt (utang najis) dan renegosiasi moratorium pembayaran utang dan bunganya agar dalam beberapa tahun kedepan Indonesia memiliki porsi anggaran yang cukup untuk membiayai sektor-sektor yang menjadi tanggung jawab Negara kepada rakyatnya tanpa melulu membuat defisit APBN.
Odious debt (utang najis), yaitu “doktrin hukum yang menyatakan bahwa utang yang dibuat oleh rezim yang bukan untuk kepentingan publik seharusnya tidak dapat ditegakkan dan dilaksanakan.†Utang najis pertama kali diartikulasikan dalam konteks pasca-Perang Dunia I, oleh ahli hukum Alexander Nahum Sack.
“Dalam bukunya berjudul ‘Pengaruh Transformasi Negara pada Utang Publik dan Kewajiban Keuangan Lainnya’, Sack (1929) menulis utang ini bukan kewajiban bagi bangsa itu untuk turut serta menanggung pembayarannya, itu adalah utang rezim yang melakukan utang. Dengan alasan ini utang ‘najis’ tidak dapat dianggap membebani Negara, utang tersebut tidak memenuhi salah satu syarat yang menentukan legalitas utang negara, yaitu utang Negara harus dikeluarkan dan dana dari itu digunakan untuk kebutuhan dan kepentingan Negara,†tegasnya.
Sementara Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia menjelaskan, utang najis juga telah menjadi preseden internasional dalam beberapa kasus. Tahun 1898 terjadi negosiasi damai setelah perang Spanyol melawan Amerika, dan Negara Soviet menolak utang Tsar pada tahun 1921 dengan menggunakan alasan yang sama. Bahkan, pada tahun 1996 Bank Dunia menunjukkan kesediaan untuk berangkat dari praktik pinjaman internasional tradisional dengan meluncurkan inisiatif Heavily Indebted Poor Countries (HIPC), yang menyediakan penghapusan utang bagi negara-negara miskin berdasarkan tingkat utang dan pendapatan suatu Negara,†jelas dia,
Pemerintah harus berani bernegosiasi dengan seluruh pihak yang memberikan pinjaman ke Indonesia. Misalnya, meminta agar menghapuskan utang-utang yang memberikan dampak kerusakan sosial-ekologis di Indonesia atau menghapuskan utang-utang yang membuat rakyat Indonesia dibeberapa wilayah harus kehilangan sumber penghidupannya dan tergusur dari lahan-lahan produktif mereka akibat dari proyek utang tersebut.
Misalnya dengan mengambil kebijakan untuk sementara tidak melakukan pembayaran cicilan pokok pinjaman (moratorium bayar utang) beberapa tahun kedepan hingga pada posisi keuangan negara menjadi surplus. Atau dengan berani, pemerintah tidak memasukkan item Pembiayaan Utang dalam postur APBN untuk beberapa tahun kedepan.
“Kami ingin melihat inisiatif pemerintah yang berani dan berbeda dari rezim lainnya, untuk melakukan renegosiasi, jika tidak, maka pembiayaan negara akan terus-menerus dengan pendekatan ‘gali lubang, tutup lubang,†pungkas Diana.
Laporan: Muhammad Hafidh