MEMASAK rendang Padang yang kondang seantero dunia sebagai masakan paling mak nyuss itu tidak gampang, lho. Kendati berbekal buku resep yang ditulis chef alias koki nomor wahid, belum tentu rendang yang dihasilkan sesuai harapan.
Kok bisa? Padahal bahan-bahan sudah disiapkan sesuai petunjuk resep. Bumbu juga diracik sesuai petunjuk resep dari chef terkenal yang hobi wara-wiri di acara-acara televisi dan di berbagai event off air lain.
Tahapan-tahapan memasak pun patuh dan taat sebagaimana instruksi buku resep. Tapi, lagi-lagi, kenapa hasilnya beda dengan rendang buatan sang koki terkenal?
Pelajaran utama dari kisah rendang gagal ini adalah, serahkan pekerjaan kepada ahlinya. Dalam salah satu sabdanya yang terkenal, Nabi Muhammad SAW menyatakan, bila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. (HR Al-Bukhari dari Abi Hurairah).
Anda bisa bayangkan, untuk urusan rendang saja, kalau diserahkan kepada bukan ahlinya bisa berantakan rasanya. Nah, bagaimana dengan urusan yang lebih besar, lebih strategis, dan lebih vital bagi bangsa dan rakyat Indonesia?
Salah satu masalah yang membelit Indonesia adalah soal ekonomi. Angka-angka defisit mengepung beberapa indikator makro kita. Sebut saja, kinerja neraca perdagangan yang terus mengalami defisit. Pada kuartal I 2018, neraca perdagangan minus US$1,02 miliar.
Begitu juga halnya dengan defisit transaksi berjalan/current account defisit (CAD) di kuartal I-2018 yang mencapai US$5,5 miliar.
Pada periode sama, neraca pembayaran/balance of payment (BOP) pun babak-belur karena jomplang US$3,9 miliar. Hal serupa terjadi pada keseimbangan primer (primary balance) dalam proyeksi APBN 2018 defisit US$6,2 miliar.
Taburan angka minus ini menjadi salah satu penyebab dominan nilai tukar rupiah terus lunglai. Bukan itu saja, kebakaran di ‘rapor’ Pemerintah ini memicu terjadinya capital outflow dalam jumlah lumayan jumbo. Hingga semester I 2018 saja, duit yang kabur dari pasar modal kita tercatat sebesar Rp52,8 triliun.
Ok, rakyat memang tidak paham rapor Pemerintah yang bertabur angka merah itu. Mereka juga tidak peduli, karena memang jauh dari jangkauan nalar. Bagi rakyat, yang terasa adalah hidup makin sulit. Daya beli terus melorot. harga-harga berlomba terbang bak hendak menjangkau awan.
Beban makin berat. Lapangan pekerjaan bagai benteng musuh yang nyaris tak bisa ditembus oleh anak-anak negeri. Pada saat yang sama, dipertontonkan tsunami tenaga kerja asing yang bergelombang bak tak berkesudahan.
Sementara itu, para menteri ekonomi sibuk beretorika menggelontor 1001 alasan sekaligus pembenaran atas ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan perekonomian yang terus terjun. Dengan tanpa malu, mereka juga mengklaim telah mengelola ekonomi secara prudent.
Tak lupa orang-orang yang konon pintar-pintar karena jebolan sekolah-sekolah ekonomi beken dunia, sibuk menyalahkan ini-itu, terutama pengaruh global, sehingga berimbas ke Indonesia.
Rendang beracun
Sejatinya ibarat memasak, para menteri ekonomi kita telah menghasilkan rendang yang bukan saja tidak enak, tapi malah beracun. Akibatnya, rakyat yang dipaksa memakan rendang buatan mereka perutnya mulas, kepala pening, muntah-muntah, dan terkapar pingsan. Masih untung tidak banyak rakyat yang nyawanya putus karena dijejali rendang beracun hasil karya para menteri ekonomi tadi.
Jauh sebelum prahara ekonomi ini terjadi, ekonom senior Rizal Ramli sudah memberi warning. Sekurangnya sejak akhir tahun silam, Menko Ekuin era Gus Dur ini sudah memperingatkan, ekonomi Indonesia sudah lampu kuning. Kalau pengelolaannya tetap seperti yang sudah-sudah, bukan mustahil lampu kuning itu berubah menjadi merah. Dan, benar saja, kini sudah ‘setengah merah’.
Pria yang gigih menentang mazhab ekonomi neolib ini, sejak dulu mengingatkan bahayanya neolib sebagai model pembangunan. Paham yang cenderung menyerahkan segala sesuatu kepada mekanisme pasar itu hanya melahirkan ketimpangan yang kian lama kian lebar. Kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat, hanyalah janji-janji kosong yang tidak akan pernah mewujud jadi kenyataan.
Mantan anggota Tim Panel Ahli Ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini tidak cuma bermodal teori. Dari rekam jejaknya, justru begitu banyak kebijakan yang dihasilkannya bersifat terobosan. Anak-anak milenial menyebutnya out of the box.
Ketika memimpin tim ekonomi Gus Dur, misalnya, RR begitu penyeru kembali ke ekonomi konstitusi ini biasa disapa, sukses mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari minus 3% menjadi 4,9%. Semua itu ditempuh hanya dalam tempo 22 bulan, sebelumnya akhirnya Gus Dur dilengserkan.
Hebatnya lagi, lompatan pertumbuhan ekonomi tadi dilakukan sambil mengurangi beban utang sebesar US$4,15 miliar. Sebaliknya, doktrin neolib yang justru utang sangat dibutuhkan untuk mengakselarasi pembangunan pada akhirnya hanya melahirkan ketergantungan yang amat sangat kepada pihak-pihak pemberi utang.
Lewat utang yang kelewat gede inilah, secara perlahan namun pasti kedaulatan sebuah negara masuk dalam cengkeraman para kapitalis. Itulah sebabnya sejak pagi-pagi Soekarno mengingatkan, neoliberalisme adalah pintu masuk bagi neokolonialisme.
Masih ada lagi kinerja kinclong RR. Pertumbuhan ekonomi di era Gus Dur juga berkualitas, karena dibagi adil ke seluruh masyarakat. Indikatornya, indeks gini rasio tercatat paling rendah di Indonesia sepanjang 50 tahun terakhir, 0,31. Hanya di era Presiden Soeharto, tepatnya pada 1993, indeks gini rasio sempat bertengger di 0,32. Bedanya, Pak Harto perlu 25 tahun untuk menurunkan gini ratio hingga ke angka ke 0,32 (1993).
Di era Jokowi, Rizal Ramli sempat masuk kabinet pada reshuffle jilid pertama. Sayangnya, dia hanya bertahan 11 bulan, sebelum akhirnya dipentalkan. Meski begitu singkat, dia punya jurus Rajawali Ngepret yang amat tidak disukai para pemburu rente. Jurus lainnya, dikenal sebagai Rajawali Bangkit. Ini adalah rangkaian kebijakan terobosan yang membuat Indonesia terbang lebih tinggi.
Beberapa jurus rajawali bangkit itu antara lain yang fenomenal adalah, revaluasi asset, memperpendek dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok, menggenjot sektor pariwisata, membentuk pemasaran bersama CPO dengan Malaysia, mendongkrak kesejahteraan nelayan dengan akses perbankan dan jaminan sosial, mendorong peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia, dan mendorong pembangunan kilang darat untuk pemanfaatan Blok Masela.
Untuk siapa?
Anda mungkin akan ngeyel berpendapat, bahwa para menteri ekonomi kita adalah orang-orang jempolan. Misalnya, bagaimana mungkin Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dikelompokkan dalam jajaran ‘koki’ amatiran yang gagal total memasak rendang? Bukankah dia kebanjiran pujian dan gelar macam-macam dari dunia internasional?
Di sinilah pokok persoalannya. Sri memang moncer. Dia juga kadung dianggap sebagai ekonom tops markotops. Tapi, semua itu hanya polesan media yang berkolaborasi dengan kepentingan asing. Coba tengok, apakah serenceng gelar keren itu berkolerasi langsung dengan perekonomian Indonesia? Apakah guyuran penghargaan itu membuat ekonomi Indonesia tumbuh pesat dan rakyat hidup lebih sejahtera? Tidak, kan? Lalu, untuk siapa bermacam pujian itu?
Fakta yang ada justru sebaliknya. Selama dia menjadi Menkeu, tak terhitung berapa belas miliar dolar keuntungan para penjaja utang yang mereka raup dari rakyat Indonesia. Semua itu disebabkan yield obligasi yang Sri terbitkan kelewat mahal. Dia hobi mengobral bunga supertinggi dibandingkan negara-negara pengutang lain, bahkan kendati rating-nya di bawah Indonesia.
Pada 2006-2010, misalnya, Sri telah membuat utang Indonesia sebesar Rp476 triliun. Semuanya berbunga tinggi, umumnya 1-2% di atas Vietnam, Filipina, dan Thailan. Dengan perhitungan sederhana saja, untuk utang bertenor 10 tahun, kita harus membayar bunga Rp47 triliun-Rp95 triliun lebih mahal dari ketiga negara.
Menkeu yang dikenal sebagai pejuang neolib yang gigih ini memang sangat mengutamakan pembayaran bunga pada APBN. Di APBN 2016, alokasi anggaran untuk bayar utang tercatat Rp182,8 triliun. Lalu, angkanya melonjak 20% setahun berikutnya, menjadi Rp221,2 triliun. Jumlah ini setara dengan anggaran belanja modal, dan empat kali lipat pengeluaran sosial (social expenditure).
Kelakuan yang lebih memprioritaskan majikan asingnya pemberi utang inilah, yang menjelaskan mengapa Sri bertabur pujian dan penghargaan dari luar. Walaupun untuk itu dia sibuk memangkas aneka anggaran untuk kesejahteraan rakyat dan getol memalak rakyat dengan berbagai pajak. Jadi, untuk siapa sesungguhnya Sri bekerja?
Di tengah ekonomi yang jeblok, Indonesia membutuhkan koki andal. Bukan koki yang asal terkenal tapi sejatinya cuma barisan para amatir dengan kinerja jauh di bawah banderol.
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)