KedaiPena.com – Menyikapi rencana pemerintah terkait investasi di Ibu Kota Negara, yang saat ini terlihat tidak terlalu berhasil, Pengamat Geopolitik Hendrajit menyatakan pertimbangan strategis suatu negara yang erat hubungannya dengan penanaman modal asing, umumnya dua hal yaitu pertama Trust atau kepercayaan terhadap negara mana sang investor itu menanamkan modalnya. Terlepas negara investor itu menggunakannya sebagai obyek kolonisasi atau eksploitasi.
“Apalagi jika investasi ditujukan sebagai dasar membangun kemitraan yang setara dan saling menguntungkan,” kata Hendrajit, ditulis Sabtu (14/7/2024).
Pertimbangan kedua, lanjutnya, didasarkan pada risk assesment analysis atau analisis resiko politik dalam negeri.
Ia menyatakan prospek berinvestasi di Indonesia kini dan mendatang dalam kondisi penuh kepastian atau berpotensi tidak stabil. Apalagi bila menjurus terjadinya pergolakan politik dan pergantian kekuasaan tak terduga.
“Nah terkait trust atau kepercayaan, baik AS dan blok Uni Eropa maupun Tiongkok, sepertinya sama-sama memandang situasi politik antara Juni hingga Oktober saat presiden baru dilantik, merupakan masa transisional. Sehingga baik AS dan Blok Barat maupun Cina, mengambil langkah taktis yaitu Wait and See Policy. Ini berlaku tak cuma dalam hal Proyek IKN melainkan juga berbagai kerjasama luar negeri lainnya,” paparnya.
Hendrajit juga menyatakan kerja sama dengan Cina, sebenarnya sejak jelang pilpres 2019, sudah mulai mengalami komplikasi. Semula Cina berharap kerja sama dibangun dalam kerangka kerja sama bilateral murni. Tanpa melibatkan para Taipan dalam skema kerja sama. Alhasil, bukannya bilateral tapi trilateral RI-RRC-Taipan.
“Lagipula ketika Taipan ikut cawe cawe, berarti erat hubungannya dengan poros Singapura-Taiwan-Hongkong yang sejatinya masih dalam kendali The British Geopolitics,” paparnya lagi.
Ia mengingatkan, Singapura dan Hongkong adalah negara negara eks jajahan Inggris. Adapun Taiwan merupakan sekutu strategis AS sejak 1949, saat Jenderal Chang Kai Shek yang anti-komunis berhasil digusur dari Cina daratan oleh Mao Zhe Dong dan Cho en Lai. Selain itu, para Taipan diaspora atau Overseas Chinese itu, umumnya berkiblat ke Barat dalam kepentingan bisnisnya alih-alih ke Beijing.
“Maka itu kunjungan presiden terpilih Prabowo ke Beijing pasca Pilpres, mendorong Cina melihat Indonesia dengan sudut pandang baru dan harapan baru. Apalagi saat hubungan bilateral RI-RRC yang dirintis sejak 2014 mengalami komplikasi,” kata Hendrajit.
Menurutnya, adapun AS dan Barat dengan alasan yang berbeda, memandang pemerintahan Jokowi di sisa masa jabatannya tinggal tiga bulan, berpotensi menghadapi risiko politik yang sulit diduga dan diprediksi.
“Sebab, ketika masa jabatan presiden petahana tinggal tiga bulan, di internal pemerintahan tidak kompak dan solid lagi. Sehingga bukan saja antar menteri, bahkan presiden pun tidak lagi efektif sebagai faktor pemersatu,” ungkapnya.
Apalagi, ia menilai, para elit pemerintahan Jokowi berada di kubu yang berseberangan dalam Pilpres April 2024.
“Dengan begitu meski dengan alasan dan motif politis-strategis yang berbeda, baik blok AS-Uni Eropa maupun Cina secara taktis lebih baik menunggu dinamika politik yang berlangsung setelah pemerintahan baru dilantik pada Oktober 2024,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa