Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Mudah saja membaca motif politik dibalik super kilatnya RUU DPA disahkan paripurna DPR sebagai RUU inisiatif dewan. Karena, manuver politik era Jokowi itu sangat mudah dibaca, karena mereka tidak pernah berusaha menutupinya, karena mereka semua sudah tidak punya malu.
Pertama, motif bagi-bagi kekuasaan. Nampaknya, pembagian kekuasaan kepada elit politik dan Parpol dengan mengubah UU Kementerian Negara, yang menyerahkan jumlah dan nomenklatur Kementrian kepada Presiden, belum cukup untuk menciptakan ‘lowongan jabatan politik’ bagi para pengangguran Politik dari kalangan elit dan Parpol.
Karena itu, dibentuk DPA yang statusnya lembaga tinggi negara, sejajar bahkan secara substansi lebih tinggi dari Presiden, dengan jumlah keanggotaan tidak dibatasi 9 orang. Itu artinya, membuka lowongan jabatan politik baru bagi elit dan parpol. Sehingga, DPR kompak meloloskan RUU ini.
Koalisi perubahan, baik itu PKS, NasDem, PKB, itu omong kosong. Kalau sudah urusan kekuasaan, mereka juga ikut nimbrung, karena sejatinya semua parpol itu sangat tamak pada kekuasaan.
Terbukti, RUU DPA ini koor disepakati seluruh fraksi. Itu artinya, seluruh Parpol akan dapat porsi di DPA atau dikompensasi dapat porsi di posisi yang lain sebagai jatah atas dukungan pada RUU DPA ini.
Kedua, motif melanggengkan kekuasan Jokowi. Ide membentuk ‘Presidensial Club’ yang dicetuskan Prabowo, tidak memuaskan Jokowi. Suap posisi politik untuk Jokowi ini, dirasakan tidak seksi, karena tidak punya kewenangan. Club Presiden ini tak lebih dari sekedar ‘Tim Hore’.
Karena menyadari jebakan politik Prabowo, yang mau memenjara Jokowi pada peran politik sekedar tim hore, Jokowi bermanuver. Mendorong dibentuknya DPA, aktifkan kembali lembaga era ORBA ini, agar Jokowi kelak ada didalamnya, dan punya power untuk mengontrol dan mengarahkan Prabowo sebagai Presiden dibawah arahan DPA.
Kewenangan DPA diperkuat, sehingga arahan DPA menjadi mengikat bagi Presiden. Tidak seperti rekomendasi Wantimpres yang hanya dianggap kentut oleh Presiden.
Atas simbiosis mutualisme antara Parpol dan Jokowi inilah, RUU DPA mulus lolos Paripurna, meski sebelumnya tidak termasuk RUU Prolegnas 2024. Jokowi juga dapat cuci tangan, seolah pembentukan DPA ini keinginan DPR, inisiatif DPR, bukan kehendak Presiden.
Ketiga, motif bungker kejahatan Jokowi. Jokowi sadar betul dirinya telah banyak melakukan kejahatan dan pengkhianatan terhadap rakyat. Kasus korupsi dan kejahatan HAM, akan menghantui hidupnya pasca lengser 20 Oktober 2024.
Karena itu, dia membentuk DPA untuk tempat berlindung dari tuntutan rakyat. Dia butuh perlindungan kekuasaan, untuk melindungi kejahatan politiknya, dan untuk terus berbuat jahat dengan politik dinastinya.
Jadi, setelah terbit Mahkamah Kakak (MK), disusul Mahkamah Adik (MA), kini terbit Dewan Pertimbangan Ayah (DPA). Lengkap sudah, skenario melanggengkan dinasti rezim Jokowi.
[***]