KedaiPena.Com – Rektor Perbanas Institute Prof Hermanto Siregar mengungkapkan pentingnya sektor ‘finance’ khususnya akses permodalan kepada para petani untuk perkembangan sektor pertanian di Indonesia.
Hermanto begitu ia disapa menuturkan bahwa akses permodalan untuk petani selama ini masih menjadi kendala perkembangan sektor pertanian di Indonesia saat ini.
Masalah yang paling umum terjadi hingga saat ini, kata Hermanto, adalah akses petani terhadap modal yang masih sangat terbatas.
“Petani pada umumnya memang memiliki tanah. Namun tidak punya sertifikat, motor tidak ada BPKB-nya. Dengan kondisi seperti ini dia tidak bisa pinjam ke perbankan,” ujar Prof Hermanto saat berbincang dengan KedaiPena.Com, ditulis Jumat (28/9/2018).
Tidak punya pilihannya untuk akses permodalan ke perbankan, lanjut Hermanto, membuat para petani akhirnya memilih jalur lain yakini meminjam kepada rentenir.
“Kalau dia ga bisa pinjam ke bank maka dia akan terjerat kepada rentenir. Kalau rentenir. Dia jual ‘output’ harga pertanianya ditekan. Selain tentu harus membayar pinjaman dengan bunga tinggi dari para rentenir,” beber Hermanto.
Dahulu, ungkap Hermanto, memang ada program permodalan melalui Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), namun saat ini program tersebut sudah tidak ada. Otomatis yang tersisa saat ini hanya program Kredit Usaha Rakyat (KUR)
“Namun demikian, KUR yang disalurkan kepada sektor pertanian saat ini paling cuma 20 persen, sisanya 80 persen ke perdagangan. Padahal, kalau ngomong ketahanan pangan akses permodalan sangat penting,” tutur Hermanto.
Hermanto menegaskan harus difikirkan bagaimana mekanisme akses permodalan yang tepat para petani ke perbankan. Hal itu juga demi terwujudnya kesejahteraan para petani selaras dengan cita-cita ketahanan pangan selama ini.
Untuk mewujudkan hal tersebut, kata Hermanto, mahasiswa-mahasiswa di sektor perbankan dan ‘finance’ juga harus terlibat dan ikut andil. Salah satunya adalah menjadi penyuluh pertanian.
Hermanto mencontohkan seperti di Polandia para penyuluh pertanian merupakan sarjana S3 yang dimana mereka tidak malu untuk terjun ke bawah dan membantu langsung.
“Pas saya ke Polandia setahun lalu, saya turut melihat ke rumah-rumah petani dan ternyata mereka didampingi penyuluh yang merupakan S3 bergelar Ph.d,” tutur Hermanto.
Mereka, lanjut Hermanto, memakai sistem ‘sharing profit’ dengan para petani. Hal tersebut secara tidak langsung turut memberikan kesejahteraan kepada petani dan penyuluh itu sendiri. Menurut Hermanto, mereka sedianya seperti konsultan.
“Ketika mereka melakukan penyuluhan mereka tidak dikasih amplop langsung. Jadi misalnya laku penjualan hasil pertanian itu baru dikasih atau ‘sharing profit’. Ibarat kalau dia melakukan penyuluhan ke 30 petani kan untungnya besar,” imbuh Hermanto.
Sebenarnya, jelas Hermanto, di Indonesia sudah ada beberapa milenal yang melakukan hal yang sama kepada para petani. Namun demikian, jumlahnya belum sebanyak di luar negeri.
“Lulusan keuangan itu bukan hanya pakai dasi di bank. Mereka bisa mengarahkan untuk kerjasama petani dengan perushaan. Nah itu ‘basic’-nya kan ”finance’ dan itu harus dibuat melek. Karena jika petani pemahaman financenya lemah nanti petani terikat tengkulak lalu juga tidak bisa ekspansi,” pungkas Hermanto.
Laporan: Muhammad Hafidh