SEPERTI diberitakan New York Times (16/4/2015), kantor akuntan publik Ernst & Young (EY) pernah memiliki rekam jejak membantu Lehman Brothers merekayasa penipuan akunting menjelang kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008.
Pemerintah Federal New York melakukan gugatan yang mengalahkan EY di pengadilan, sehingga mewajibkan EY membayar ganti rugi US USD 10 juta (Rp 130 miliar). Putusan pengadilan lebih kecil dari tuntutan Jaksa Federal, yang meminta EY membayar ganti rugi sebesar USD 150 juta (Rp 1,9 triliun).
Perlu diingat, badai besar Krisis Finansial 2008 dimulai oleh kebangkrutan Lehman Brothers. Artinya, EY turut berkontribusi menciptakan krisis Finansial 2008.
Kini, kepada EY juga, publik Indonesia diminta mempercayai data yang ia terbitkan tentang kesuksesan Sri Mulyani sehingga dianugerahi Best Minister Awards di Dubai minggu lalu. Menteri terbaik dunia diberikan oleh kantor akuntan publik yang pernah menipu? Yang penipuannya telah menciptakan krisis finansial dunia? Luar biasa.
Apalagi setelah ditelusuri, sebagian indikator pemberian penghargaan terkesan mengada-ada, bila tak ingin dikatakan hoax. Pertama, kemiskinan turun 40% dalam lima tahun terakhir? Menurut data BPS kemiskinan turun kurang dari 6% sepanjang 5 tahun terakhir. Jauh sekali kesalahan ini.
Kedua, utang turun 50%?. EY jelas menghina nalar publik Indonesia. Dipikir EY mungkin publik Indonesia tidak baca berita-berita atau mencari publikasi dari situs resmi pemerintah, yang mengabarkan fakta utang Indonesia meningkat terus setiap tahun.
Ketiga, transparansi, dikatakan meningkat sebanyak 3% setiap tahun. Saya mencoba membuka situs Transparency International (TI), didapati bahwa sejak tahun 2014, 2015, dan 2016 indeks persepsi korupsi Indonesia memang meningkat dari 34 ke 36 kemudian ke 37.
Tapi peningkatan ke 37 di tahun 2016 pun masih belum mampu membawa Indonesia ke kelas negara-negara di Asia yang memiliki indeks persepsi korupsi di atas 50, bersama Singapura (88), Hongkong (77), Jepang (72), Bhutan (65), Taiwan (61), Brunei Darussalam (58), dan Korea Selatan (53). TI sendiri menilai kenaikan indeks Indonesia terlalu lambat bila ingin mengejar target indeks 50 di tahun 2019.
Indikator keempat, ketimpangan pendapatan. Ketimpangan dibilang membaik oleh EY. Padahal selama masa Sri Mulyani menjadi Menkeu, akibat kebijakan austerity-nya, Gini Ratio masih stagnan di level 0,39. Perlu diketahui, Indonesia masih sangat jauh dari kelas negara-negara kesejahteraan yang yang memiliki Gini Ratio hingga di bawah 0,30.
Indikator kelima, cadangan devisa. Cadangan devisa kita memang mencapai rekor, tapi bila dibandingkan dengan diri sendiri, bukan dengan tetangga. Harus diakui cadangan devisa Indonesia (USD 130 miliar) di tahun 2017 masih kalah jauh dari Singapura (USD 280 miliar) dan Thailand (USD 240 miliar). Padahal jumlah penduduk Singapura hanya 1/40 Indonesia, dan Thailand jumlah penduduknya ¼ Indonesia.
Indikator keenam, lapangan kerja. Ekonom Dradjad Wibowo kemarin (14/2) di acara diskusi DPP Partai Amanat Nasional (PAN) mencermati lonjakan lapangan kerja hingga ke 3,25 juta yang bagian terbesarnya, 1,09 juta masih disumbang oleh sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan, alias informal. Penambahan tenaga kerja di sektor retail sebanyak 1 juta pun diragukan karena di lapangan retail terlihat menurun.
Jadi dari enam indikator, dua diantaranya (penurunan utang dan penurunan kemiskinan) dicurigai sebagai hoax, tiga indikator (transparansi, ketimpangan pendapatan, dan devisa) menjadi tidak masuk akal bila dibandingkan negara sekawasan, dan hanya satu indikator yang kalaupun benar perlu banyak dikritisi.
Keterlaluan. Wajar bila akhirnya publik Indonesia mempertanyakan: Apa gunanya diberikan penghargaan oleh lembaga yang pernah menipu, dan dengan indikator-indikator yang tidak kredibel pula!?
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)