TAK disangka, sebuah pesan pendek (SMS) masuk ke telepon seluler saya beberapa waktu lalu, “Bang, apa arahan untuk gerakan mahasiswa saat ini?”.
Terhenyak saya membaca pertanyaan kawan aktivis mahasiswa tersebut, kemudian membalas dengan sedih, “Hari-hari esok adalah milik kita. Lakukan analisa dan pergerakan yang kalian anggap benar. Perkuat organisasi dan bantulah rakyat miskin yang butuh pertolongan dengan cara yang kalian bisa. Kami gerakan mahasiswa 1998 telah gagal. Reformasi telah mati!”
Setelah Otoritarianisme
Mengenang masa sebelum 1998, gerakan mahasiswa dan rakyat menjadi sebuah perjuangan yang sangat berat. Bukan hanya karena tempaan represi yang dialami, terlebih karena melawan sebuah sistem yang sangat otoriter yang mengcengkram di segala bidang kehidupan.
Kebhinekaan menjadi sebuah hal yang sangat mahal, segala sesuatu diwujudkan dalam berbagai kebulatan tekad dan wadah tunggal. Bahkan untuk mahasiswa, pasca-Malari 1974 diterapkan program NKK/ BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) dengan mahasiswa dipacu untuk hidup di “menara gading†hanya sibuk kejar SKS dan nilai agar cepat jadi sarjana.
Tak peduli dengan penderitaan rakyat dan perilaku penguasa, serta diwajibkan berhimpun dalam Senat Mahasiswa sebagai organisasi yang sah menjalankan kegiatan kemahasiswaan. Segala pikiran kritis dianggap sesat, setiap gerakan melawan kebatilan jadi hal tabu yang melanggar pakem penguasa Orde Baru saat itu.
Hari demi hari, demonstrasi demi demonstrasi, penangkapan demi penangkapan terus berlalu. Dari aksi-aksi demonstrasi yang hanya diikuti puluhan mahasiswa serta aktivis pemuda lainnya, aksi demonstrasi semakin marak di seluruh Indonesia hingga diikuti jutaan massa. Orde Baru pun tumbang, asa terbentang menghapus jejak otoritarianisme pada 21 Mei 1998.
“Transisi damai†terjadi dan Jenderal Besar Soeharto dengan eloknya mundur dari jabatan Presiden RI selama 32 tahun, tanpa pernah adanya proses pengambilalihan kekuasaan dan penataan kehidupan ekonomi-politik negara yang dipersiapkan secara matang oleh mahasiswa dan barisan proreformasi sejati. Euforia terjadi menghinggapi mayoritas aktivis mahasiswa dan rakyat, seakan-akan masa depan Indonesia yang gilang gemilang akan segera hadir di depan mata.
Perjuangan reformasi 1998 diwarnai dengan jatuhnya martir demokrasi, yakni pahlawan Elang, Hendriawan dkk dalam tragedi Trisakti, Yap Yun Hap, M Yusuf Rizal, dan Saidatul Fitria dkk dalam Tragedi Penolakan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya di Semanggi Jakarta, Lampung dan daerah lainnya, serta banyak aktivis prodemokrasi yang hingga kini tidak pulang, seperti Wiji Thukul, Bimo Petrus, Suyat dkk. Hormatku kepada mereka.
Berbagai tuntutan didesakkan gerakan mahasiswa dan rakyat di berbagai daerah hingga klimaksnya terjadi kompromi antara elite politik nasional dan sebagian kecil elite gerakan mahasiswa, yakni Deklarasi Ciganjur 1999 yang banyak ditolak oleh mayoritas gerakan mahasiswa dan rakyat yang terus berlawan berlandaskan tujuan dan tuntutan agenda besar reformasi yang menyangkut perekonomian rakyat agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta bisa maju, berdaulat, dan sejahtera.
Rakyat mulai terbelah, reformis gadungan dan aktivis pelacur mulai menunjukkan watak aslinya yang haus dengan kekuasaan dan harta, mendirikan berbagai organisasi massa hingga partai politik tanpa orientasi ideologi dan kerja pengorganisasian massa yang jelas. Dimulai dengan adanya konsesi sogokan pemilihan umum multipartai 1999 yang direstui kapitalisme internasional guna mendesakkan berbagai program liberalisasi ekonomi-politik dengan cara-cara yang halus, cantik dan seakan-akan demokratis.
Kompromi demi kompromi terjadi, gerakan mahasiswa dan rakyat yang progresif revolusioner semakin tergerus melemah tak mampu bertahan. Berbagai peraturan perundang-undangan dan aturan hukum yang meliberalkan kehidupan ekonomi-politik diterapkan. Paling ironi, UUD 1945 yang asli diamandemen berulang kali guna memastikan segala kebijakan liberalisasi dianggap legal dan konstitusional. NKRI di bawah kendali neoliberalisme!
Takdir Reformasi
Tak terasa 17 tahun berlalu. Cita-cita mulia reformasi tak pernah terwujud, demokrasi yang seharusnya menjadi alat perjuangan kini hanyalah kata yang semakin tak bernilai. Reformasi telah melahirkan kebebasan berserikat, berpendapat, dan berkumpul, tetapi kini ditelikung kaum avonturir pedagang untuk memburu rente politik menindas rakyat.
Reformasi berhasil memaksakan dunia peradilan agar bebas dan terbuka, tetapi secara prinsipil hukum masih tajam ke bawah tumpul ke atas, menikam yang tak berpunya melindungi penguasa durjana. Reformasi seharusnya mewujudkan kemakmuran kaum tani dan sektor rakyat lainnya hingga memiliki akses ekonomi yang lebih terbuka, tetapi nyatanya kini kehidupan ekonomi rakyat berada di bawah kontrol mafia agen kapitalisme global yang merambah masuk hingga pelosok perdesaan.
Reformasi menginginkan agar TNI menjadi kekuatan profesional pertahanan negara, tetapi sejatinya tentara tak pernah diberdayakan manunggal dengan rakyat untuk menghadang dan memerangi agresi neoliberalisme yang menghancurkan NKRI.
Reformasi memunculkan segudang pemimpin baru nasional dan lokal, tetapi mayoritas feodal oportunistik korup dan tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat yang dimiskinkan secara struktural. Reformasi seharusnya menghapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme, tapi faktanya kini ribuan kejahatan korupsi dan kejahatan kemanusiaan lainnya terus terjadi hingga ke pelosok perdesaan yang semakin menerpurukkan NKRI.
Kini, reformasi telah mati! Setidaknya, ia telah mewariskan kebebasan dan menghancurkan kediktatoran. Dan seharusnya, kalian para pemuda, mahasiswa, dan prajurit progresiflah yang akan menuntaskan cita-cita reformasi memajukan NKRI sepenuhnya. Karena kami angkatan 1998 telah gagal.
Oleh Ricky Tamba, Petani, Pegiat Jaringan ’98