Artikel ini ditulis oleh leh Achmad Nur Hidayat, MPP, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta.
Seiring waktu berjalan semakin terkuak banyak hal yang dahulu menjadi misteri tentang penyebab indeks persepsi korupsi di Indonesia semakin merosot. Terakhir indeks persepsi korupsi turun dari 36 menjadi 34. Ternyata banyak persoalan yang melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Salah satunya adalah pengakuan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan keterangan Novel Baswedan, mantan Penyidik Senior KPK, telah membuka mata banyak pihak tentang tantangan yang dihadapi oleh lembaga anti-korupsi di Indonesia.
Agus Rahardjo mengungkapkan bahwa ia pernah dipanggil oleh Presiden Joko Widodo dan diminta untuk menghentikan penyelidikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto.
Sementara itu, Novel Baswedan menambahkan bahwa ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK, terutama melalui revisi UU KPK No. 19 Tahun 2019. Intervensi Istana dalam Kasus Hukum Teramat Nyata.
Kedua pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang independensi dan efektivitas KPK dalam memerangi korupsi.
Kasus ini menyoroti pentingnya independensi lembaga anti-korupsi. KPK, yang telah lama dianggap sebagai benteng utama dalam perang melawan korupsi, kini tampaknya menghadapi tantangan besar.
Upaya untuk melemahkan lembaga ini, baik melalui intervensi politik atau perubahan regulasi, secara langsung mengancam integritas dan efektivitasnya. Lembaga anti-korupsi harus memiliki independensi penuh untuk beroperasi tanpa tekanan politik atau intervensi.
Intervensi politik dalam kasus-kasus korupsi, seperti yang diduga terjadi dalam kasus e-KTP, menimbulkan kekhawatiran serius tentang independensi dan keadilan sistem peradilan.
Penegakan hukum harus bebas dari pengaruh politik untuk memastikan bahwa semua individu, tidak peduli posisi atau kekuasaan mereka, diperlakukan sama di mata hukum.
Revisi Undang-Undang KPK yang kontroversial, yang dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk melemahkan lembaga ini, menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.
Penting untuk memastikan bahwa setiap perubahan dalam regulasi tidak mengurangi, melainkan meningkatkan, kemampuan KPK dalam memerangi korupsi.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan juga menjadi sorotan dalam kasus ini. Masyarakat harus diberi informasi yang cukup tentang tindakan pemerintah dan lembaga-lembaga negara, termasuk KPK, untuk memastikan bahwa mereka bertindak dalam kepentingan publik. Partisipasi publik dalam mengawasi proses hukum dan kebijakan publik adalah kunci untuk memastikan bahwa korupsi dapat diberantas secara efektif.
Masyarakat sipil dan media memainkan peran penting dalam memantau pemerintah dan lembaga-lembaga seperti KPK. Melalui pengawasan yang ketat dan laporan yang objektif, mereka membantu memastikan bahwa lembaga-lembaga pemerintah bertanggung jawab atas tindakan mereka. Ini sangat penting dalam membangun sistem yang transparan dan akuntabel.
Kebijakan dan reformasi hukum yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi masalah korupsi secara efektif. Ini termasuk memperkuat lembaga-lembaga seperti KPK, memastikan independensi peradilan, dan menciptakan sistem yang transparan dan akuntabel. Reformasi ini harus diarahkan untuk meningkatkan kemampuan lembaga dalam memerangi korupsi, bukan sebaliknya.
Dalam konteks ini, sangat penting untuk terus mendorong penguatan lembaga anti-korupsi, memastikan independensi mereka, dan mendukung transparansi serta akuntabilitas dalam semua aspek pemerintahan. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan efektif dan adil.
Pengakuan Agus Rahardjo dan keterangan Novel Baswedan harus dijadikan titik tolak untuk refleksi mendalam tentang kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia. Kita harus memahami bahwa upaya pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga seperti KPK, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, sektor swasta, media, dan masyarakat sipil.
Semua pihak harus bekerja sama dalam semangat transparansi dan akuntabilitas untuk menciptakan lingkungan yang bersih dari korupsi.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa perjuangan melawan korupsi adalah perjuangan yang berkelanjutan. Tidak ada solusi instan, dan diperlukan komitmen jangka panjang dari semua pihak untuk memastikan bahwa korupsi dapat diberantas.
Kita harus terus berupaya memperkuat lembaga anti-korupsi, memperbaiki sistem peradilan, dan membangun budaya transparansi dan akuntabilitas di semua sektor.
Pemberantasan korupsi adalah kunci untuk membangun negara yang adil dan sejahtera. Dengan memperkuat lembaga seperti KPK dan memastikan bahwa mereka dapat beroperasi tanpa tekanan politik atau intervensi, kita dapat mengambil langkah besar menuju Indonesia yang lebih baik.
Mari kita jadikan pengakuan Agus Rahardjo dan keterangan Novel Baswedan sebagai momentum untuk memperkuat kembali pilar anti-korupsi di Indonesia.
[***]