Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, pemerhati sejarah.
Istilah Pengpeng (penguasa merangkap pengusaha) yang selama ini diintrodusir oleh tokoh nasional Dr Rizal Ramli, dalam bahasa Belanda ternyata ada padanannya.
Para pejabat VOC dulu umumnya adalah penguasa merangkap pengusaha atau pedagang, yang disebut sebagai Opperkoopman.
Maestro wartawan Indonesia Rosihan Anwar dalam bukunya Napak Tilas ke Belanda, 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949, menyebut Opperkoopman sebagai pedagang-atasan.
Secara harfiah dalam bahasa Belanda berarti pedagang utama.
Opperkoopman selain bekerja untuk VOC juga bekerja untuk keuntungan dirinya sendiri.
Setiapkali kapal-kapal VOC memuat barang-barang yang diperjualbelikan untuk VOC, pasti terangkut pula barang-barang kepunyaan Opperkoopman, yang secara pribadi ikut melakukan transaksi di pelabuhan.
Itulah sebabnya VOC bangkrut antara lain karena korupsi dan utang, akibat ulah para Opperkoopman alias Pengpeng.
Dalam sejumlah literatur disebutkan, banyak pejabat VOC yang memulai karier sebagai Opperkoopman. Di antaranya hingga mencapai jabatan tertinggi seperti Gubernur Jenderal.
Salah satunya Gubernur Jenderal Pieter De Carpentier (1623-1627) dan banyak lagi.
Praktek korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh para Opperkoopman sangat dimungkinkan. Karena mekanisme pelaporan dan kontrol yang ketat terhadap keuangan VOC terkendala oleh sistem pelayaran yang menempuh waktu berbulan-bulan lamanya.
Sehingga pengawasan dari para pemilik modal VOC (Heeren Zeventien) di Belanda sangat lemah.
Waktu itu belum ada sistem komunikasi yang canggih seperti saat ini.
Ketika akhirnya VOC bangkrut (1799) Lodewijk Napoleon, Raja Belanda, yang juga adik Napoleon Bonaparte, melanjutkan praktek kolonialisme dengan mendirikan negara kolonial di Nusantara dengan nama Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie) pada 1800, dan menempatkannya di bawah kementerian tanah jajahan.
Dewan Hindia Belanda (Raad Van Nederlandsch-Indie) kemudian didirikan. Berfungsi sebagai penasihat Gubernur Jenderal, sekaligus sebagai bagian dari sistem pengawasan Raja.
Dengan harapan pemerintahan kolonial Hindia Belanda tidak berjalan secara ugal-ugalan dan tak ada lagi Pengpeng alias Opperkoopman seperti pada masa VOC.
Namun praktek Opperkoopman alias Pengpeng sampai sekarang ternyata masih terus berjalan. Para pelakunya bukan lagi orang-orang Belanda VOC, melainkan para bumiputera yang menjadi pejabat di negeri yang sudah merdeka ini, yang umumnya ada di kabinet sebagai menteri saat ini. Bahkan ada pula kepala daerah.
Dengan jabatan dan kekuasaannya ini mereka ikut dalam bisnis PCR, terlibat dalam Pandora Papers, menggasak duit proyek E-KTP, menilep dana Bansos, mendukung deforestasi, mengatur proyek-proyek pemerintah agar mendapatkan keuntungan bagi diri dan keluarga, serta seterusnya.
Opperkoopman saat ini spektrumnya bahkan lebih luas lagi, karena selain korup, juga nepotis, dan berkolusi. Bahkan di antaranya ada yang mempersiapkan diri untuk menjadi calon presiden di 2024.
Esensinya Opperkoopman saat ini menyempurnakan praktek kleptokrasi sejadi-jadinya.
Di era Mataram Baru para pembesar Belanda mengintrodusir istilah Elke Regent Heeft Zijn Chineezen. Tiap-tiap bupati punya cukong masing-masing.
Istilah ini menggambarkan pada masa itu politik uang sudah sangat berkuasa dalam menentukan pemimpin.
Peran cukong pada masa itu berkombinasi dengan kepentingan kolonialis Belanda yang membutuhkan pemimpin-pemimpin boneka (marionet leider) untuk mengendalikan tanah jajahan.
Itulah sebabnya Belanda yang tak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus ‘45, menyuruh Van Mook bikin negara boneka (marionettenland) dengan memilih elit-elit feodal berkarakter komprador yang dibeli dengan uang.
Opperkoopman (Pengpeng) hari ini adalah bagian dari Oligarki yang bisa mengatur-ngatur berbagai kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup mayoritas rakyat. Mulai dari ekonomi sampai politik, seperti ambang batas pencalonan presiden (Presidential Treshold).
Dengan Presidential Treshold 20 persen yang menutup peluang figur yang memiliki integritas, track record, dan berciri problem solver untuk memimpin negeri ini, maka sesungguhnya Pilpres 2024 dengan Presidential Treshold 20 persen tidak ubahnya dengan Kontes Capres Boneka Pro Beijing.
Para kontestannya sedang meminta perhatian cukong atau taipan di dalam oligarki. Mereka bukan sedang berkontes untuk merebut kepercayaan mayoritas rakyat.
Itulah sebabnya mereka tidak berani menyuarakan jeritan hati rakyat. Tidak berani menyuarakan kepentingan mayoritas rakyat. Melainkan lebih memilih tebar pesona melalui berbagai teknik pencitraan dan menyewa media massa serta lembaga-lembaga survei untuk menaikkan rating dan membangun persepsi palsu.
Lalu apakah gunanya kita melakukan refleksi sejarah atas semua situasi ini?
Sejarah membantu kita memahami hari ini dan semua produk politik yang dilahirkannya, yang memungkinkan kita untuk menjalani hidup masa depan secara lebih baik, tanpa mengulangi kesalahan di masa lalu.
Demikianlah esensi, dan yang seharusnya.
[***]