SAUDARAKU, judul di tulisan ini tidaklah salah. Bahwa selain tidak perlu menjadi orang kaya, saudara juga tidak usah berkeinginan jadi ulama.
Mengapa? Karena ada sebagian yang membayangkan enaknya menjadi ulama. Seperti ke sana-sini dijemput, ingin belanja orang-orang mau membayari hingga pulang diberi amplop ditambah buah-buahan dan sayuran. Kalau yang dibayangkan begitu, berarti sebetulnya yang ingin dicari adalah duniawi.
Hanya jalannya lewat gelar ulama. Kalau di dalam otak kita ulama itu identik dengan duniawi, maka jangan dan tidak boleh bercita-cita jadi ulama.
Ini serius, saudaraku. Karena jangankan yang tujuan sebetulnya adalah duniawi, yang di awal tujuannya benar pun bisa terkecoh oleh dunia.
Misalnya saat masih berceramah di RT masih tawadhu, karena pendengarnya juga bersahaja dan bawaannya juga pisang atau ubi. Tapi mulai naik ke tingkat RW, mulai sedikit lupa.
Begitu seterusnya, saat naik ke tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, makin lupa dan makin berbeda cara bicara serta gayanya.
Kalau tidak mati-matian berupaya untuk segera sadar, maka terus saja melayang. Walaupun mungkin ceramahnya bagus, tapi sebetulnya Allah sudah tidak ada di hatinya. Karena dia sudah tenggelam di dalam kenikmatan pujian, penghormatan, kekaguman, undangan, dan duniawi lainnya.
Sayang saja kita sering menganggap orang yang berceramah di televisi atau terkenal dan banyak jamaahnya, seakan-akan langsung mulia. Padahal, yang mulia adalah yang paling tawadhu dan paling bebas dari ujub.
Tentunya, termasuk makhluk bersorban di Daarut Tauhiid atau yang menulis ini dan juga yang Ikut BC Tulisan ini, belum tentu cocok dengan yang sedang dibicarakan. Ketika berbicara begini, sejujurnya saya merasa sedang menonjok wajah sendiri. Oleh sebab itu, saat saudara membaca ini, saya berharap saudara mau membantu mendoakan agar saya lebih dikuatkan dan dijauhkan dari yang begitu.
Karena memang tidak mudah. Misalkan kalau sudah terkenal. Banyak dari kita yang ingin terkenal, tapi apakah saudara berpikir terkenal itu enak? Tidak, saudara belum tahu saja bagaimana rasanya. Atau, apa saudara menganggap dengan terkenal itu derajat di sisi Allah langsung jadi tinggi? Tidak! Justru kalau sudah dikenal kecenderungannya adalah sangat ingin diperlakukan spesial. Dari daa..daah..-nya saja sudah beda. Amat susah untuk turun jadi biasa-biasa saja.
Kecenderungannya semakin merasa spesial. Seperti kalau diundang, ada yang menjawab, Jadwal saya banyak, lain kali saudara kalau mau mengundang saya enam bulan sebelumnya ya. Padahal, pada saat menjawab begitu, sebetulnya dalam satu-dua minggu berikutnya dia masih bisa membuat jadwal.
Atau, misalkan ada undangan dari Kampung Cikemeuh, di Musala yang belum jadi, yang sekalian minta sumbangan. Jawabannya, Ee..begini ya, saya sudah ada jadwal di istana.
Apa bedanya antara istana dan Cikemeuh? Mungkin dari segi nama agak kurang wibawa. Tapi setiap tempat tabligh atau pengajian itu yang menilainya sama, yaitu Allah.
Tidak gampang, saudaraku. Karena merasa spesial, baju yang dipakai juga ingin dibedakan. Lain saat diundang walikota, harus lain lagi di gubernuran dan kalau bisa dipesan dulu.
Bukan salah gubernur, tapi penceramahnya sendiri yang salah karena merasa spesial. Merasa berbeda antara saat dijemput polisi pamong praja dan saat berceramah di Mabes Polri/ TNI. Terus saja seakan dirinya mulia. Padahal derajatnya di sisi Allah sama sekali belum tentu naik.
Jadi, sepanjang cita-cita itu sebetulnya adalah kesenangan duniawi, sudahlah, tidak usah jadi ulama. Kecuali kalau mau jadi Ulama karena benar-benar ingin menjadi orang yang takut kepada Allah melalui ilmu. Supaya hati benar-benar selalu bergetar, dan tidak ada kehidupan yang dilihat kecuali membuat makin mendekat kepada-Nya.
Jangan membayangkan kesenangan duniawi. Cukup bercita-cita menjadi ahli takwa saja. Yang penting rezeki kita dapatkan berkah.
Jika saudara garis hidupnya memang kaya, nanti juga akan sampai ke sana.
Biarlah Allah yang mengaturnya. Karena kekayaan juga bukan tanda kesuksesan. Kesuksesan itu adalah bagi yang bertakwa dan makin mendekat kepada Allah SWT.
Oleh KH Abdullah Gymnastiar