KedaiPena.Com – Boleh saja kita bertepuk tangan setelah S&P menaikkan rating surat utang Indonesia dari BB+ ke BBB-. Mungkin setelah kasus yang menimpa JP Morgan beberapa bulan lalu, S&P kini tidak ingin senasib serupa. Hanya menduga-duga.
Bagaimanapun, Indonesia telah melakukan kebijakan pengetatan anggaran (austerity policy) dengan “memuaskanâ€. Dan akhirnya selalu ada anggaran untuk membayar utang kepada para pemegang surat utang (bond holder).
Kewajiban terhadap 1% penduduk terkaya, para investor pemegang surat utang, ditunaikan, tetapi tetap dengan mengorbankan perekonomian riil rakyat.
Di luar hingar bingar rating S&P itu, situasi riil perekonomian Indonesia sebenarnya tidak terlalu baik. Berikut ini adalah fakta-fakta yang perlu diperhatikan terkaitnya.
Penerimaan Pajak Turun
Bila tidak mengikutkan tax amnesty, maka pendapatan pajak 2016 adalah sebesar Rp 998 triliun, atau sekitar 73,6% dari target APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 1.355 triliun. Sementara setahun sebelumnya, 2015, total pendapatan pajak adalah sebesar Rp 1.060 triliun, atau sekitar 81,9% dari target APBN Perubahan 2015 sebesar Rp1.294 triliun.
Utang Naik
Posisi utang luar negeri pemerintah Indonesia mengalami kenaikan cukup signifikan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, di tahun 2015 utang pemerintah adalah sebesar Rp 3.165 triliun. Kini (posisi Januari 2017), utang pemerintah sudah berada di posisi Rp 3.549 triliun, atau naik Rp 384 triliun.
Stagnasi Ekonomi
Memang pertumbuhan PDB Indonesia kuartal I 2017 sebesar mengalami peningkatan 0,09% bila dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun 2016. Namun bila dibandingkan kuartal sebelumnya, terjadi penurunan sebesar -0,34%. Sehingga dapat dibilang telah terjadi stagnasi ekonomi.
Investor pun merespon stagnasi ekonomi ini dengan mengurangi investasi mereka di Indonesia.Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa pertumbuhan investasi asing langsung/foreign direct investment (FDI) sebesar 0,9% sepanjang kuartal pertama tahun 2017 adalah yang paling lambat dalam lima tahun terakhir.
Daya Beli Rakyat Merosot
Biro Pusat Statistik (BPS) mengumumkan upah riil harian buruh tani mengalami kenaikan 0,62%. Sedangkan upah riil buruh bangunan (tukang bukan mandor) malah mengalami penurunan sebesar -0,07%. Jadi pertumbuhan 5% tidak dirasakan oleh kelas rakyat tersebut, tidak cukup tingkatkan kesejahteraan mereka.
Kebijakan neoliberal semacam pencabutan subsidi untuk 18 juta konsumen listrik 900VA pasti akan semakin menekan daya beli rakyat. Maka wajar bila muncul perlawanan dari berbagai elemen gerakan minggu-minggu ini. Padahal banyak solusi efisiensi di tubuh PLN yang jauh lebih besar dari pencabutan subsidi 18 juta konsumen 900VA.
Kehidupan rakyat memang sedang sulit. Bersamaan dengan dicabutnya subsidi listrik, survey yang dilakukan salah satu industri yang memproduksi barang kebutuhan sehari-hari (semacam sabun, shampoo, dan kecap) menemukan fakta menarik. Ditemukan, bahwa di kalangan menengah ke bawah rakyat terjadi peralihan dari sabun cair ke sabun batangan; dan juga peralihan ke kemasan sachet kecil untuk produk shampoo dan kecap.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)