KedaiPena.Com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak pemerintah dapat melibatkan parlemen dalam meratifikasi Perjanjian Flight Information Region (FIR) dengan Singapura. Pasalnya, hal itu sesuai dengan Undang-undang nomor 24 tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
Selain itu, langkah pemerintah dalam melibatkan DPR juga sesuai dengan putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 yang merupakan putusan atas uji materi terhadap UU Perjanjian Internasional.
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Anton Sukartono Suratto merespons langkah pemerintah yang ingin meratifikasi Perjanjian FIR dengan Singapura menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) bukan UU.
“Apabila menyangkut kedaulautan wilayah NKRI maka pemerintah wajib melibatkan DPR dalam ratifikasi sesuai UU no 24 tahun 2000 dan Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 yang merupakan putusan atas uji materi terhadap UU Perjanjian Internasional,” ujar Anton, Jumat,(18/2/2022).
Anton menerangkan, sesuai pasal 11 ayat 2 UUD NKRI 1945 Presiden juga harus membuat dan membentuk Undang-undang dalam setiap ratifikasi perjanjian internasional dengan persetujuan dari DPR.
“Pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat dan melakukan perjanjian kerjasama internasional, maka pemerintah membentuk UU terkait dengan perjanjian internasional yang menjadi sumber hukum bagi negara Indonesia dalam melakukan perjanjian kerjasama internasional,” tegas Anton.
Anton menjelaskan, UU nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional sampai saat ini juga masih menjadi pedoman pemerintah Indonesia untuk melaksanakan perjanjian kerjasama antara internasional.
“Untuk memperjelas keberadaan perjanjian kerjasama internasional dalam kontruksi NKRI,” papar Anton.
Anton turut menyinggung, soal kedaulatan udara Indonesia yang dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah tanpa adanya pendelegasian.
Anton menuturkan, mengacu UU nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Wilayah udara Republik Indonesia, pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi.
“Dan dilayani lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak Undang-undang ini berlaku,” papar Anton.
Anton menegaskan, pendelegasian menurut Pasal 458 UU tersebut harus dihentikan hingga tahun 2024. Jadi, jelas pengelolaan kedaulatan udara Indonesia dikelola sepenuhnya oleh Indonesia tanpa adanya pendelegasian.
“Pertanyaannya, apa alasan pemerintah membuat perjanjian FIR tahun 2022, apakah menunjukkan ketidakmampuan pemerintah Indonesia menjalankan amanah UU no.1 tahun 2009 tentang penerbangan padahal pada tahun 2016, Pemerintah sudah membuat cetak biru untuk mengambil alih secara penuh pengelolaan FIR untuk seluruh wilayah yang berada dalam kedaulatan Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 55 Tahun 2016,” imbuh Anton.
Disisi lain, kata Anton, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan telah bertekad untuk mengambil alih pengelolaan FIR di atas kedaulatan Indonesia tanpa ada pendelegasian.
“Lalu mengapa dalam perjanjian FIR ada pendelegasian? Apa yang menjadi alasan pemerintah untuk mendelegasikan ke Singapura untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang? Padahal Pasal 458 UU Penerbangan jelas mengamanatkan pendelegasian harus diakhiri pada tahun 2024,” beber Anton.
.
Politikus Partai Demokrat ini menekankan, apabila pengelolaan FIR sudah diatur dalam UU no 1 tahun 2009 tentang penerbangan, maka sebaiknya perjanjian FIR tahun 2022 tersebut harus sejalan dengan amanah UU penerbangan tersebut.
“Perjanjian FIR 2022 tersebut harus tunduk kepada UU penerbangan, bukan sebaliknya yang dapat berpotensi terjadi tabrakan aturan perundang-undangan apalagi berdasarkan Pasal 9 ayat 1 UUD 1945, Presiden bersumpah untuk menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya,” pungkas Anton.
Laporan: Muhammad Hafidh