SESUAI dengan Undang-undang MD3, DPD punya  hak untuk mengajukan dan pembahasan RUU. Pengajuan RUU sebagai hak DPD ini, ternyata diikuti dengan rupiah yang harus dibayar.
Dimana, harga satu pengajukan RUU disesuaikan dengan “harga pasar” atau sesuai dengan selera yang dibuat oleh masing-masing komite DPD, bukan berdasarkan standar harga.
Dengan demikian, setiap komite DPD seperti mencari untung dalam pengajukan rancangan RUU. Kalau dapat harga yang mahal, tentu untung juga banyak, dan komite tersebut bisa dianggap komite yang basah dong.
Dan di bawah ini komite DPD yang harga pengajukan RUU yang paling mahal adalah:
1. Tugas Komite III DPD “membahas” 8 RUU dengan alokasi sebesar Rp26,1 miliar. Dan satu harga “pembahasan” sebesar Rp3,2 miliar.‎
2. Tugas Komite I DPD “membahas” 10 RUU dengan alokasi sebesar Rp26,1 miliar. Dan satu harga “pembahasan” sebesar Rp2,6 miliar.‎
3. Tugas Komite IV DPD “membahas” 11  RUU dengan alokasi sebesar Rp26,1 miliar. Dan satu harga “pembahasan” sebesar Rp2,3 miliar.‎
‎
4. TugasKomite II DPD “membahas” 13 RUU atau revisi Undang-undang dengan alokasi sebesar Rp26,1 miliar. Dan satu harga “pembahasan” sebesar Rp2,0 miliar.‎
Dari gambaran diatas, kami dari CBA (Center For Budget Analysis) mengucapkan selamat kepada Komite III yang sudah berhasil untuk mengajukan RUU dengan harga yang paling mahal atau sebesar Rp3,2 miliar hanya untuk satu pengajukan RUU.
Selanjutnya, Â kalau ditotal anggaran untuk pembahasan RUU atau undang undang sebesar Rp104,4 miliar untuk 42 RUU atau revisi Undang-undang.Â
Dan ini terlalu mahal, karena sifatnya hanya untuk pengajukan rancangan saja. Ini betul-betul pemborosan anggaran Negara, karena rata-rata harga sebuah RUU atau revisi Undang-undang di DPD sebesar Rp2,4 miliar.
Oleh Astrit Muhainin, Ko‎ordinator Analysis Anggaran Negara‎ CBA