KINERJA dapat dimaknai sebagai prestasi kerja sesungguhnya dicapai oleh seseorang. Prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas dalam melaksanakan fungsi sesuai dengan tanggung jawab diberikan.
Namun, soal Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, ternyata buruk dan layak diberikan rapor merah. Sehingga dapat dinilai tidak layak terus menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Penilaian kinerja Ahok dapat ditemukan antara lain dari DPRD DKI Jakarta, BPK, dan KemenPANRB, Kemendagri, lembaga survei, masyarakat dan Bappenas.
Pertama penilaian DPRD DKI. Hasil penilaian DPRD DKI Jakarta disajikan pada Rapat Paripurna Tanggapan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Ahok, 23 April 2014. Menurut lembaga wakil rakyat ini, kinerja Ahok dan aparatnya sangat buruk dan layak diberikan rapor merah.
Paripurna menghasilkan 10 penilaian dan lima rekomendasi untuk Ahok. Pertama, pendapatan tercapai hanya 66,8 persen atau Rp43,4 triliun lebih kecil dari rencana Rp65 triliun. Kedua, realisasi belanja 59,32 persen adalah belanja terendah Jakarta, jika belanja terealisasi 100 persen maka terdapat defisit anggaran Rp 20 triliun.
Ketiga di sektor pembiayaan, realisasi PMP hanya 43,62 persen yang terdiri dari kegagalan realisasi PMP pada PT KBN, PT Pam Jaya, dan PT Food Station. Keempat kenaikan NJOP yang semena-mena tanpa perhitungan matang terbukti memberatkan beban rakyat, diharapkan dike‎mbalikan seperti tahun 2013.
Kelima, kenaikan angka kemiskinan dari 371 ribu pada tahun 2013 menjadi 412 ribu pada tahun 2014 menujukan kegagalan Pemda Jakarta dalam menyejahterakan masyarakat. Keenam, pemberian izin reklamasi oleh Gubernur melanggar undang-undnag nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir pantai, peraturan presiden nomor 122 tahun 2012 tentang reklamasi pantai. Izin yang sudah dikeluarkan harus dicabut.
Ketujuh Gubernur DKI Jakarta belum mampu mempertahankan aset-aset Pemda DKI Jakarta yang berpekara di pengadilan. Kedelapan, penerimaan CSR selama ini tidak dikelola dengan transparan, DPRD minta diaudit.
Kesembilan, Gubernur DKI Jakarta melanggar perundang-undangan khususnya uu nomor 29 tahun 2007 pasal 22 tentang organisasi perangkat daerah berkenaan dengan penghapusan jabatan wakil lurah. 10.DPRD menilai Kinerja Pemda dan aparatnya pada tahun 2014 buruk.
Adapun lima rekomendasi DPRD terkait LKPJ penggunaan anggaran tahun 2014 sebagai berikut. Pertama, gubernur harus patuh dan taat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan pemerintahan.
Kedua Gubernur tidak bisa melepaskan tanggungjawab hanya dengan alasan karena baru bertugas dua bulan. Ketiga Gubernur jangan banyak berwacana dan harus serius bekerja sehingga kinerja meningkat di tahun-tahun yang akan datang.
Keempat, Gubernur DKI Jakarta harus mempersiapkan ahli hukum yang kuat untuk mepertahankan aset-aset Pemda DKI Jakarta agar tidak terjadi kekalahan beruntun di pengadilan ataupun kehilangan asset daerah.
Kelima, Gubernur harus bersinergi dengan berbagai pihak untuk membangun Jakarta baru yang lebih baik.
Selain DPRD DKI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun menilai Pemprov DKI di bawah Ahok patut diberikan sebagai WDP (Opini Wajar Dengan Pengecualian). Menurut istilah akuntansi, WDP adalah pendapat diberikan ketika laporan dikatakan wajar dalam hal material, tetapi terdapat sesuai penyimpangan (kurang lengkap) pada pos-pos tertentu, sehingga harus dikecualikan.
Pengecualian itu sendiri mungkin saja terjadi karena bukti kurang cukup, adanya pembatasan ruang lingkup, atau terdapat penyimpangan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Predikat WDP 2014 tidak berbeda dengan opini audit BPK pada laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta pada 2013. Padahal pada periode Pemprov sebelumnya, Sutioso dan Foke, selalu mendapat opini audit WTP (Wajar Tanpa Pengecualian).
Predikat WDP diberikan karena ada 70 temuan dalam laporan keuangan DKI senilai Rp. 2,16 triliun, berindikasi kerugian DKI senilai Rp 442 miliar. Dan berpotensi merugikan DKI sebanyak Rp. 1,71 triliun. Lalu kekurangan penerimaan dana DKI sebanyak Rp. 3,13 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp. 469 juta dan pemborosan Rp. 3,04 miliar.
Beberapa temuan wajib menjadi perhatian Pemprov DKI yakni asset seluas 30,88 hektar di Mangga Dua dengan PT.Duta Pertiwi yang dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan asset. Juga pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta Barat yang tidak melewati proses pengadaan memadai. Ada indikasi kerugian senilai Rp. 191 miliar.
Pemprov DKI juga mengalami kelebihan bayar premi asuransi senilai Rp. 3,7 miliar, juga pengeluaran dana Bantuan Operasional Pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp. 3,05 miliar. Temuan lain yakni penyertaan modal dan asset kepada PT. Transportasi Jakarta (Transjakarta) tidak sesuai ketentuan.
Hal ini menyangkut tanah seluas 794 ribu meter persegi, bangunan seluaas 234 meter persegi dan tiga blok apartemen yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah.
Berdasarkan laporan BPK di atas, dalam perjalanan Ahok selaku Gubernur DKI terdapat data dan fakta lainnya bahwa Ahok gagal mengurus pemerintah dan rakyat DKI Jakarta. Data dan fakta dimaksud antara lain temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tentang beberapa ketidkberesan dalam penggunaan anggaran oleh Pemerintah DKI tahun anggaran 2014.
Atas dasar itu, BPK memberi opini “wajar dengan pengecualian (WDP)” untuk laporan keuangan tahun lalu. Predikat ini tak berbeda dengan laporan keuangan pada 2013. Beberapa temuan BPK yang mengakibatkan DKI mendapat “rapor merah” antara lain sensus aset yang masih berantakan.
Kinerja Ahok menurut KemenPANRB pun serupa. MenPANRB. Yuddy Chrisnandi menerangkan penilaian LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja) diikuti 77 kementerian/lembaga. Ada 7 kategori yang dibagi yaitu nilai AA (0 lembaga/kementerian), A (4), BB (21), B (36), CC (16), C (0), D (0). 77 Kementerian/lembaga ini dinilai dari sejak awal 2015.
LAKIP disusun sebagai pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan dan memenuhi Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 yang mengamanatkan setiap instansi pemerintah/lembaga negara yang dibiayai anggaran negara agar menyampaikan laporan dimaksud. Laporan ini merinci pertanggungjawaban organisasi dan tanggung jawab pemakaian sumber daya untuk menjalankan misi organisasi.
Untuk diketahui, Kementerian PANRB membeberkan hasil penilaian akuntabilitas kinerja 86 kementerian dan lembaga. KemenPANRB menilai dirinya sendiri di peringkat 6 terbaik. Ada beberapa yang menjadi indikator dalam penilaian akuntabilitas, yaitu penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan pencapaian organisasi.
Penghujung tahun 2015, Menteri PAN RB Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi menjelaskan bahwa Evaluasi terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dilaksanakan terhadap seluruh kementerian, lembaga non kementerian dan pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten dan kota.
Tertinggi di Indonesia Timur dalam evaluasi LAKIP tahun ini, Pemerinta Provinsi Sulut mendapatkan predikat B (baik). Dimana menempatkan Sulawesi Utara sebagai Provinsi dengan perolehan nilai tertinggi di kawasan Timur Indonesia.
Hanya Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Timur yang memperoleh nilai A. Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta hanya mendapatkan predikat CC. Di posisi paling bawah ada Provinsi Kalimantan Utara dengan predikat D. Ada juga Pemprov Banten, Sulawesi Selatan, Aceh, Sulawesi Barat, Jambi hingga Papua Barat yang bernasib sama seperti DKI dan harus puas dengan nilai CC=58. Posisi DKI berada pada nomor urut ke-18, di bawah Kalimantan Tengah !
Dalam manajemen birokrasi DKI Jakarta, Ahok acap kali membuat kegaduhan di kalangan PNS. Antara lain, mengangkat, memecat dan memutasi PNS secara sepihak tanpa melalui Dewan Jabatan. Seorang Camat yang baru ditempatkan bahkan belum menerima SK Pengangkatan, dicopot tanpa melalui prosedur.
Selain itu, kinerja Ahok menurut Kemendagri disebut Penyerapan Anggaran Terendah. Hal ini dapat dijadikan indikator rendahnya kinerja Ahok. Kemendagri mengevaluasi penggunaan anggaran daerah pada Semester I 2015. Hasilnya, DKI menjadi salah satu Provinsi dengan penyerapan anggaran terendah.
Persentase serapan anggaran baru 22,86 persen dari total Rp. 69,2 triliun. Badan keuangan dan Aset Daerah DKI mencatat terdapat tiga Dinas yang serapan anggarannya rendah.
Ketiganya adalah Dinas Penanggulangan Kebakaran yang baru menyerap 2,08 persen dari total anggaran Rp. 900 miliar; Dinas Perumahan dan Gedung yang baru menyerap 3,25 persen anggaran dari total Rp. 2,1 triliun; serta Dinas Tata Air yang baru membelanjakan 3,49 persen dari Rp. 5,16 triliun.
Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, penyerapan anggaran terendah di Indonesia terjadi di DKI. “DKI Jakarta yang terparah,” tandas Mendagri. Sementara Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan serapan anggaran pemerintah DKI justru terbesar hanya ada di belanja pegawai.
“Seharusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan pegawai”, tegasnya.
Jakarta Kalah Jauh dari Kabupaten Kulonprogo Penilaian Pemerintah Pusat terhadap kinerja Pemda berdasarkan pada hasil evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD) terhadap Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD).
Penilaian tersebut didasarkan pada laporan kerja formal dan bukan didasarkan popularitas semata. Karenanya, kepala daerah yang populer tidak menjamin laporan penyelenggaraan pemerintah daerahnya bagus.
Ada 12 Pemerintah Daerah yang memperoleh penghargaan pemerintahan terbaik, dari Pemerintah Pusat dalam peringatan Hari Otonomi Daerah ke-20 yang jatuh pada hari ini, Senin 25 April 2016. Ke 12 pemerintah daerah tersebut antara lain, Pemerintah kabupaten Kulon Progo, Pemkab Pasaman, Pemkot Semarang, dan Pemkot Probolinggo.
Keempatnya meraih penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha, yakni penghargaan tertinggi kepada pemerintah daerah yang selama tiga tahun berturut-turut berstatus kinerja terbaik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu, untuk kategori Satyalancana Karyabhakti Praja Nugraha diberikan kepada Gubernur Jawa Barat, Bupati Tulung Agung, Bupati Nganjuk, Bupati Kudus, Bupati Bintan, Wali kota Probolinggo, Wali kota malang dan Mojokerto.
Di mana DKI Jakarta? Tidak termasuk di dalam satu kategoripun. Jakarta di bawah Ahok kalah dari Pemda Kulon Progo. Di Kulon Progo rumah reot warga miskin ditata diperbaiki dengan semangat gotong royong. Di Jakarta rumah warga miskin digusur dengan semangat pro konglomerat.
Soal ini Mendagri Tjahjo Kumolo berujar, ada satu progam unggulan tidak dimiliki daerah lain, yakni program pemugaran rumah dengan sistem gotong royong. Bahkan, pemugaran itu, tanpa menggunakan dana ABPD.
“Semangatnya gotong royong, Bupati menggerakkan masyarakat. Mengorganisir masyarakat, untuk gotong royong, demi membantu sesama dan demi kemaslahatan umat,†ujar Tjahjo (25 April 2016). “Itu kenapa Kulon Progo unggul dibanding daerah lain. Kulon Progo ini semua ada inovasinya. Membangun rumah yang sudah kumuh, rusak untuk masyarakat,†kata dia.
Buruknya kinerja Ahok juga dapat ditemukan melalui hasil survei dilakukan Lembaga Survei Periskop Data pimpinan Muhammad Yusuf Kosim. Survei Periskop Data dilaksanakan pada 1-7 Juni 2015. Survei ini dilakukan secara langsung melalui wawancara tatap muka. Metode yang digunakan adalah Multistage Random Sampling. Sampel pada survei ini adalah penduduk Indonesia yang berusia 17 tahun atau lebih atau sudah menikah.
Pelaksanaan survei dilakukan di seluruh wilayah DKI. Jumlah sampel yang diambil sebesar 500 responden. Adapun margin of error survei ini sebesar 4,4 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil survey pada dasarnya menunjukkan bahwa publik “tidak puas” dengan kinerja Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat di bidang “perumahan rakyat”, “kemacetan”, dan “banjir”.
Selanjutnya, Kinerja buruk Ahok ini dijadikan alasan bagi penentang Ahok agar rakyat DKI menolak pencalonanan Ahok dalam Pilgub 2017. Penolakan pencalonanan Ahok bukan atas dasar sentimen kesukuan, etnis maupun agama. Salah satu penolakan muncul melalui Petisi, menekankan Ahok wajib ditolak karena tidak menunjukkan prestasi signifikan selama menjabat Wagub maupun Gubernur.
Berdasarkan Temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang menyebutkan indikasi penyahgunaan wewenang dan penyimpangan APBD DKI Jakarta yang dilakukan Ahok. Perampasan hak warga dan masyarakat diantaranya hak mencari nafkah bagi Pedagang kaki lima dan atau hak pengendara kendaraan roda dua yang dilarang melewati beberapa jalan protokol.
Ahok juga mengingkari janji-janji kampanye contohnya terhadap warga bantaran Kali Ciliwung. Pemimpin yang tidak amanah, kerap ingkar janji, sering membuat kegaduhan, dan melempar tanggung jawab, masalah dan kesalahan adalah satu indikasi menunjukan tidak pantasnya ia sebagai seorang pemimpin.
Ahok kerap kali tidak menunjukan etika, moral dan sopan santun dalam berbicara. Hal ini dapat menjadi contoh buruk bagi anak-anak maupun generasi penerus bangsa. Ahok terbukti dan kerap kali melukai hati warga masyarakat terutama hati dan perasaan Ummat Islam Jakarta.
Hal ini tentu bisa berakibat buruk terhadap Persatuan Kesatuan dan Ke-Bhineka-an, tidak hanya pada ruang ingkup DKI Jakarta saja namun dapat berimbas kepada NKRI secara luas.
Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP, Peneliti Sosial Politik dan Ketua Dewan Pendiri NSEAS (Network for South East Asian Studied)