KedaiPena.Com – Negara kecil ini berada di tanduk Afrika, berbatasan dengan dengan Somalia, Ethiopia, dan Eritrea.
Nama Jibouti berasal dari nama kota yang paling luas di negara tersebut, yaitu Djibouti, ibu kotanya.
Negeri ini dulu dikenal dengan nama Somalia Prancis (karena merupakan koloni Prancis).
Mata uang negara ini adalah Franc. Bahasa resmi yang digunakan di negeri ini adalah bahasa Arab dan bahasa Prancis.
Kondisi negara ini sangat memprihatinkan, selain memang karena sumber daya alamnya yang sedikit, tanahnya pun kurang subur dan sangat tandus.
Angka pengangguran di negeri ini cukup tinggi, yakni sekitar 40-50%, konsumsi per kapita pun terus turun hingga 35% dalam tujuh tahun terakhir ini.
Belum lagi ditambah dengan masalah buta huruf yang sangat tinggi di negeri ini. Hampir 50% masyarakat Jibouti belum melek huruf, padahal pendidikan digratiskan di negeri ini.
Hal tersebut terjadi karena suku Afar dan Somalia yang hidup di negeri ini, hidup secara berpindah-pindah dengan menggembala kambing, domba, dan unta.
Secara nasional, seluruh kebutuhan pangan di negeri ini didatangkan dari luar negeri.
Dulu wilayah Jibouti merupakan bagian dari kerajaan besar Ethiopia. Pedagang Islam mulai datang pada abad ke-9 Masehi dan mendorong berdirinya Kesultanan Adal di Zeila (wilayah Somalia saat ini).
Kaum Somalia pindah ke Jibouti sekitar abad ke-14 Masehi. Waktu itu Kesultanan Adal di bawah pimpinan Ahmad Al-Ghazali yang memimpin suku Afar dan pasukan muslim Somalia melawan Kristen Ethiopia.
Namun, karena bantuan Portugis, pasukan Kristen Ethiopia berhasil membunuh Ahmad Al-Ghazali, sehingga Kesultanan Adal terguncang. Sejak itu muncul beberapa kesultanan kecil yang menguasai wilayah Somalia dan Jibouti.
Setelah dikuasai oleh beberapa kesultanan kecil, Jibouti jatuh ke tangan Prancis pada tahun 1892. Rakyat Jibouti makin terpuruk karena Prancis hanya tertarik pada pelabuhan yang sangat potensial di negeri ini.
Tahun 1967, rakyat Jibouti masih tetap ingin di bawah kekuasaan Prancis lewat hasil referendum yang digelar.
Barulah di tahun 1977, mereka mendapatkan kekuasaan penuh dari Prancis dengan Hassan Gouled Aptidon menjadi presiden pertama mereka.
Ramadan di Jibuti
Iklim di Jibouti hampir sepanjang tahunnya kemarau dan kering. Puncaknya adalah di akhir tahun. Jika Ramadan datang pada akhir tahun, Anda dapat membayangkan, betapa beratnya ujian yang harus mereka hadapi.
Dilansir dari buku ‘Jejak Ramadan Berbagai Negara’ karangan Nurul Asmayani dan kawan-kawan, suasana bulan puasa di Jibouti pada siang hari begitu sepi. Hampir tidak ada aktivitas yang masyarakat lakukan.
Semua restoran, pedagang, dan aneka aktivitas lainnya berhenti. Hanya ada beberapa transportasi umum yang beroperasi selama bulan Ramadan.
Selama Ramadan, makan dan minum di siang hari sangat dilarang, sekalipun Anda orang asing dan bukan muslim. Anda tidak boleh berjalan sambil minum di depan umum. Memang tidak ada sanksi resmi yang berlaku, hanya saja penduduk setempat akan menegur Anda dengan keras.
Masakan yang menjadi favorit selama bulan Ramadan adalah masakan khas negeri mereka.
Di antaranya adalah skoudehkaris (sejenis tumisan daging domba yang diberi banyak rempah), nasi pelangi (nasi yang diberi rempah-rempah hingga menjadi berwarna-warni), laxoox (sejenis pancake yang diberi madu dan pisang), sambuusa (sejenis lumpia isi daging), dan juga shurbad (sejenis sup daging dan sayur yang diberi barley mint).
Malam yang Semarak
Berbeda dengan siang hari, malam-malam Ramadan di Jibouti begitu semarak. “Waa…taa…waa…taa…” inilah seruan untuk memanggil anak-anak kecil di Jibouti untuk sekedar keluar melihat bulan sabit yang muncul di bulan Ramadan. Lalu mereka menggelar tikar, meminum teh, dan bernyanyi riang gembira dengan syair-syair Arab.
“Marhab, marhab yaa Ramadan.
Inilah marhaban ya Ramadan.
Selamat datang, selamat datang yaa Ramadan.
Anda memang dipersilahkan datang, yaa Ramadan”.
Setelah mereka bernyanyi dengan gembira, para ulama mulai menceritakan kisah para nabi dan rasul, istri para nabi, para sahabat para nabi, penciptaan dunia, dan lain sebagainya.
Malam lailatul qadar juga begitu meriah. Ada kebiasaan unik saat 10 malam terakhir Ramadan di Djibouti. Mereka saling sapa usai menunaikan salat tarawih.
Di hari-hari terakhir bulan Ramadan, orang-orang keluar melihat bulan untuk melihat awal Syawal. Kemudian para ulama mengumumkan kapan Idul Fitri akan dimulai.
Festival Idul Fitri di Jibouti
Sebelum Idul Fitri, masyarakat Jibouti juga mulai sibuk membeli pakaian yang bagus dan indah. Sama seperti saudara muslim lainnya di belahan bumi yang lain. Demikian juga dengan Anda, bukan?
Ketika hari kemenangan tiba, pagi harinya mereka mempersiapkan diri. Mengenakan parfum, meminyaki rambut, dan para wanita mengenakan pakaian warna-warni. Lihat, itu menyenangkan, bukan?
Sholat Idul Fitri dilaksanakan di lapangan yang luas. Usai salat, mereka saling sapa, diiringi doa, dzikir dan berbagai syair arab yang dilantunkan para ulama, unik dan istimewa.
Begitu selesai membaca zikir, shalawat, dan bersalam-salaman, masyarakat Jibouti melanjutkan perayaan dengan menggelar festival budaya di tanah lapang.
Para laki-laki melakukan tarian wilwile dan perempuan menarikan tari heello. Setelah itu mereka pulang dan menikmati kelezatan canbaabur (roti khas Idul Fitri yang sarat dengan telur dan gula).
Setelah kumpul keluarga selesai, anak-anak kecil berkeliling di desa dan membawa kantung untuk menampung atau uang sambil menyanyikan sebuah syair “Waa clido, cali wa bagbaq“. Yang artinya, “Idul Fitri, ini si paman Ali (nama orang yang akan dimintai permen)”.
Perlu Diketahui
Islam di Jibouti memiliki sejarah panjang, pertama kali muncul di Afrika Timur selama masa hidup Muhammad.
Hari ini, 96 persen dari 490.000 orang Jibouti adalah Muslim Sunni sebagian besar mengikuti tradisi hukum Syafi’i. Selain itu, banyak yang mengikuti perintah Qadiri, Ahmadi, dan sufi Salihi.
Setelah kemerdekaan dari Perancis (1977), republik membangun sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi Perancis, praktik- praktik adat, dan hukum Islam.
Laporan: Muhammad Lutfi