KedaiPena.Com – Belasan ribu kamp mini serupa rumah iglo memadati tanah lapang di Distrik Kaxda, Wilayah Administrasi Banaadir, Somalia. Angin cukup kuat, mencoba menerbangkan kain dan plastik yang menutupi atap tenda ranting para pengungsi internal. Meski hujan sesekali mengguyur wilayah ini, namun teriknya matahari langsung mengeringkan tanah Kaxda dalam waktu instan. Siang itu, para pengungsi memilih berada di luar tenda, berteduh di bawah pohon Commiphora myrrha.
“Ada saudara dari Indonesia datang berkunjung!†Mungkin itu yang ada di benak mereka ketika Tim SOS for Somalia hadir di tengah kerumunan pengungsi yang sedang berteduh. Beberapa pengungsi berdiri sambil mencoba datang mendekat. Presiden ACT Ahyudin menyapa mereka, dibantu relawan lokal ACT yang bertindak sebagai penerjemah. Dalam teduhnya bayangan dedaunan Commiphora myrrha, mereka berbagi kisah tentang Ramadan di kamp pengungsian.
Durasi puasa di Barnaadin tak jauh berbeda dengan durasi puasa di Indonesia. Adzan subuh berkumandang pukul 04.34 waktu setempat, sementara Maghrib jatuh pada pukul 18.05. Jika ada hal yang membedakan, itu adalah kondisi mereka saat ini. Setiap hari meringkuk dalam tenda yang tak sebegitu luasnya, bertahan di tengah minimnya pangan dan air.
Namun, dengan kondisi serba sulit yang mereka alami, apakah mereka tetap berpuasa? Ya, tak terkecuali anak-anak pengungsi.
Bagi Ifa, salah satu pengungsi di sana, Ramadan kali ini adalah Ramadan pertama yang ia dan anak-anaknya jalankan sebagai pengungsi. Ibu paruh baya ini sudah menempati kamp pengungsian di Kaxda selama lebih dari setahun. Tepatnya, sebelum bencana kekeringan meradang di sebagian besar wilayah Somalia Februari lalu.
Ia beserta keluarganya berasal dari Baidoa, Wilayah Administrasi Bay, 240 km dari Mogadishu. Mereka terpaksa bereksodus karena kekeringan terlebih dulu melanda kampung halaman mereka. Ia dan anak-anak berjalan kaki dari Baidoa hingga Qoriyooley, Wilayah Administrasi Lower Shebelle yang berbatasan langsung dengan Banaadir. Lebih dari 200 kilometer mereka tempuh dengan berjalan kaki karena tak kunjung menemukan mobil yang bisa mengangkut mereka ke Mogadishu.
“Baru di Qoriyooley kami mendapatkan tumpangan mobil. Lalu kami lihat ada barisan kamp di Banaadir. Kami memutuskan turun dan mendirikan kamp di sana,†ungkap Ifa yang sempat berpindah-pindah kamp selama setahun belakangan ini sebelum akhirnya mendirikan kamp di Kaxda. Dari Mogadishu, Banaadir hanya terpaut jarak 10-15 km.
Puasa pertama mereka di kamp pengungsian hampir tak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Kesempatan berbuka dengan makanan yang mengenyangkan hanya sesekali mereka dapatkan.
“Kadang dapat paket iftar, kadang tidak dapat. Seringnya cuma berbuka puasa dengan minum air. Ada atau tidak ada makanan kita harus berpuasa. Puasa kan wajib, jadi kita puasa agar Allah senang,†ujar Ifa kepada Tim SOS for Somalia.
Kamp pengungsi internal yang berada di Kaxda menampung sekitar 11 ribu keluarga. Ahyudin mengungkapkan, Ramadan tahun ini, baru sekira 2 ribu keluarga yang mendapat bantuan iftar atau berbuka “mewah†dari sejumlah lembaga maupun individu. Sembilan ribu pengungsi sisanya hanya bisa berbuka dengan minum air saja, seperti Ifa dan keluarganya.
Sementara itu, masih ada ratusan kamp sekitar Banaadir dan Mogadishu yang dihuni ribuan keluarga lainnya.
“Masya Allah… Saya tidak bisa berkata-kata. Membayangkan mereka tinggal di tempat seperti ini saja tidak ada dalam jangkauan pikiran saya. Serba sulit. Makan sulit, minum sulit, tidur pun sulit. Hebatnya, mereka tetap berpuasa. Semoga mereka terus ditetapkan keimanannya. Meski bagi kita, jika berada dalam posisi mereka, berpuasa atau tidak rasanya sama saja,†ungkap Ahyudin dengan raut sendu yang tak mampu beliau sembunyikan lagi.
Tak lama lagi, Kapal Kemanusiaan akan melabuhkan jangkarnya di Pelabuhan Mogadishu, Somalia. Seribu ton beras siap menemui pemiliknya, para pengungsi yang tersebar di penjuru Somalia.
Tidak hanya itu, Insya Allah, sepanjang hari-hari Ramadan ke depan, ACT akan menyiapkan 1000 paket berbuka puasa untuk para pengungsi internal di Somalia. Ribuan kilometer jauhnya dari Indonesia, berbagi hidangan berbuka puasa bersama saudara yang teraniaya.
Laporan: Galuh Ruspitawati