Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Rakyat paham, uang negara bukan milik Presiden, bukan milik Menteri, Gubernur, atau Bupati. Uang negara juga bukan milik angggota DPR atau partai politik.
Uang negara adalah milik publik, milik rakyat, yang wajib digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seperti perintah pasal 23 ayat (1) UUD, bahwa:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemerintah, dalam hal ini Presiden, adalah pihak yang ditugaskan untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan, termasuk mengelola keuangan negara, sesuai wewenang yang diberikan kepadanya seperti diatur di dalam UU dan konstitusi.
Artinya, penyelenggara negara, termasuk presiden, menteri dan lainnya, tidak boleh mengambil uang negara untuk kepentingan pribadi, alias korupsi.
Tetapi, faktanya, korupsi di pemerintahan Jokowi ini sudah sedemikian parah dan tidak terkendali. Indeks persepsi korupsi anjlok dari skor 40 (2019) menjadi 34 (2022), menandakan pemerintahan ini sangat korup. Semakin rendah indeks persepsi korupsi, berarti semakin korup.
Korupsi atau perampokan uang rakyat ini dilakukan secara masif, dengan berbagai modus.
Antara lain, dengan mengubah kebijakan dan undang-undang, membuat seolah-olah menjadi sah, tetapi pada dasarnya merugikan keuangan negara. Seperti kebijakan kartu prakerja, atau kebijakan terkait pencegahan covid dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN), antara lain kebijakan harga test covid. Kebijakan ini menyedot uang negara dan uang rakyat ke pihak tertentu.
Selanjutnya, manipulasi perizinan impor atau ekspor. Seperti kasus impor garam yang sudah ada tersangka pejabat di kementerian perindustrian. Manipulasi impor garam merugikan negara dan rakyat petani garam karena harga garam anjlok.
Atau kasus impor emas batangan yang sedang disidik kejaksaan agung, diduga melibatkan pejabat bea cukai kementerian keuangan dan beberapa perusahaan, termasuk PT Antam yang merupakan perusahaan negara (BUMN).
Total dugaan pencucian uang, yang diduga berasal dari korupsi alias perampokan uang rakyat di kementerian keuangan mencapai Rp349 triliun. Baru 2 pegawai di kementerian keuangan yang menjadi tersangka, dari 491 pegawai yang diduga terlibat pencucian uang.
Atau kasus korupsi izin ekspor minyak goreng di kementerian perdagangan, yang membuat persediaan minyak goreng menjadi langka, harga melonjak, dan mengakibatkan dua orang meninggal karena antri penjatahan pembelian minyak goreng.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan beberapa pihak dari perusahaan penyuap ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, sayangnya, tidak sampai menjerat pihak yang paling bertanggung jawab di perusahaan penyuap.
Modus lainnya, korupsi dan perampokan uang rakyat dilakukan secara langsung melalui belanja negara dan proyek. Seperti perampokan uang rakyat di proyek BTS Kemenkominfo sebesar Rp8 triliun. Atau korupsi di Kementerian Sosial, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Atau korupsi tunjangan kinerja yang melibatkan 10 pegawai di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ada juga korupsi pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, dengan 10 tersangka.
Sebelumnya juga ada kasus korupsi di Ditjen Perhubungan Laut dan Perhubungan Udara.
Korupsi pembangunan infrastruktur yang terjadi di Kementerian PUPR sangat masif dan brutal, ada 36 kasus korupsi hanya pada periode 2020 hingga Maret 2021.
Selain itu, ada juga korupsi di lingkungan penegak hukum yang melibatkan hakim, jaksa dan polisi.
Dan masih banyak lagi kasus korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN.
Korupsi dan perampokan uang rakyat yang sudah sedemikian masif dan tidak terkendali di pemerintahan Jokowi ini membuat kemiskinan meningkat, membuat rakyat miskin semakin miskin.
Oleh karena itu, rakyat tidak boleh diam melihat uang negara dirampok para koruptor. Karena uang negara adalah uang rakyat, yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Rakyat menuntut presiden untuk membongkar semua kasus korupsi sampai ke akar-akarnya, sampai ke pejabat tertinggi pemerintah, partai politik dan perusahaan, tanpa tebang pilih.
Presiden bertanggung jawab penuh atas korupsi yang merajalela ini. Kegagalan memberantas korupsi merupakan kegagalan presiden.
[***]