GADUH Polri beli senjata sudah usai, meski banyak menyisakan tanda tanya besar di mata rakyat. Meski sudah terungkap titik terang siapa benar dan siapa bohong, tapi sayang, tak perlu menyebut lembaga atau individu, semua berlagak layaknya orang lugu tak berdosa tanpa beban dan berpura-pura tidak tahu, kalau sudah berbohong.
Bohong ditutup bohong dibarengi sahutan kata-kata yang membuat rakyat prihatin terhadap akhlak para pejabat negara. Kenapa? Karena tak satu pun suara mereka sama, tapi berbeda-beda di antara lembaga dan individu, ada 500, 5.000, 20.000, dan seterusnya, justru memperlihatkan kepada rakyat semakin menguak kebohongan di antara mereka. Memang sudah lama, bohong mendarah daging, menjadi tradisi turun-temurun, bahkan cenderung menjadi “way of life“. Sungguh disayangkan, semua rakyat dianggap tidak tahu kalau mereka berbohong.
Sebagai orang Indonesia yang menjunjung tinggi adab sopan-santun, mikul duwur mendhem jero, memang akan pakewuh membuka aib orang lain, apalagi seorang pejabat terhormat yang dilantik dengan sumpah kitab suci dan keyakinan agamanya. Sungguh berat menelanjangi kebiasaan buruk berbohong pejabat negara, karena akan membawa malu keluarga, lembaga, anggota, pendukung, dan bangsanya. Sementara, menunggu kesadaran para pejabat negara untuk berbuat berani dan jujur tanpa takut dicopot jabatan, sungguh sukar ditemui di zaman milenial ini. Akibatnya, peluang kultur ini diakali dan dimanfaatkan dengan sempurna oleh para pembohong. Selesai berbohong, berbohong lagi. Layaknya tiada hari tanpa bohong.
Sungguh disayangkan kejadian seperti itu, terus berulang dan berlalu begitu saja. Padahal, bila ada niat mau membangun negeri yang maju, sejahtera, berperadaban, dihormati rakyat, disegani bangsa lain, dan diridai Allah Swt, maka sikap bohong-berbohong harus diakhiri. Harus ada masa, di mana berani menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah dan berlaku bagi semua warga negara, bukan kepada kaum lemah saja, seperti yang dipraktikkan selama ini.
Soal individu atau lembaga yang suka berbuat bohong, seharusnya sudah saatnya berubah dan kembali ke track yang benar. Rakyat tak mungkin lupa dengan perbuatan bohong itu, cuma tinggal tunggu waktu kapan terbuka atau dibuka oleh mereka sendiri. Rakyat pasti memegang kuat ingatan kolektif atas perbuatan pejabat yang suka berbohong. Rakyat tidak akan lelah mengingat erat tingkah laku bohong mereka, sampai berganti generasi sekalipun.
Oleh karena itu, masih ada kesempatan untuk bertobat dan menoreh tinta emas dengan kebenaran. Jangan takut malu kepada manusia, tapi harus malu kepada diri sendiri dan takut kepada Allah Swt Yang Maha Tahu. Kini, saatnya secara ksatria menerima kebenaran dan jangan menyerang pihak yang benar untuk menutupi kesalahannya. Bila pejabat yang disumpah menurut agama dan menggunakan kitab suci, maka kebenaran dan kejujuran di atas segalanya. Memang tidak sulit meminta maaf kepada rakyat atas kesalahannya, memang tidak berat untuk mundur sebagai sikap ksatria bangsa, kecuali mereka masih sangat mencintai jabatan dan kekuasaannya yang seolah itu segalanya.
Membiasakan kebenaran dan menjauhi kebohongan adalah upaya terbaik sekaligus menjadi obat pahit yang bisa memberi solusi kesimpangsiuran berita dan informasi. Pahit tapi mengobati bangsa, lebih baik dari pada manis justru menghancurkan bangsa. Kini, pilihan ada pada diri mereka sendiri, mana yang baik, mana yang benar, dan mana yang akan membawa manfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan bangsa Indonesia.
Percayalah, tidak akan terjadi hukuman sosial bagi mereka yang menjunjung tinggi kebenaran. Percayalah, bila terus hidup berselimut kebohongan, pasti mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan sekaligus menanggung salah dan dosa. Belum terlambat untuk memperbaiki kesalahan dan segeralah bertobat demi kemajuan dan keselamatan bangsa.
Semoga Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah sekaligus dikenal bangsa yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
Oleh Birru Ramadhan, Pemerhati Sosial Dan Politik