Artikel ini ditulis oleh Koordinator Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN), Marwan Batubara.
Rencana pembangunan IKN baru di “Nusantara” terus dipromosikan. Dalam dua bulan ke depan seluruh peraturan “operasional” turunan UU IKN, berupa PP dan Perpres akan diselesaikan dan ditetapkan pemerintah secara sepihak dan otoriter. Padahal, seperti dijelaskan dalam tulisan ke-3 berbagai ketentuan penting dan strategis yang akan dimuat dalam PP dan Perpres tersebut, seharusnya dirumuskan dalam UU IKN, setelah dibahas oleh Pemerrintah dan DPR, termasuk harus dibukanya kesempatan untuk partispasi publik.
Dengan bekerja sepihak, penyeludupan norma-norma penting dan strategis yang sejalan dengan keinginan oligarki akan berlangsung mulus. Para oligarki bukan saja sangat berperan dalam menentukan kebijakan pemerintah. Bahkan Para Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Yang Mulia pun tampaknya berada di bawah kendali oligarki. Hal ini tampak saat MK sangat nyaman membuat putusan No.91/PUU-XVIII/2020 yang sumir, memalukan dan melecehkan Pancasila, atas gugatan Uji Formil UU Ciptaker No.11/2020. MK menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional. Tetapi MK masih pula “mempersilakan” Pemerintah menjalankan UU tersebut selama dua tahun atas alasan yang dicari-cari dan irrasional!
Salah satu alasan penting mengapa MK menyatakan UU Ciptaker No.11/2020 inkonstitusional adalah karena proses pembentukannya melanggar UUD 1945 dan UU No.12/2011. MK menyatakan karena tingkat partisipasi publik dalam proses pembentukan UU Ciptaker No.11/2020 sangat minim dan informasi pun tidak terbuka pada setiap tahapan pembahasan RUU, maka MK memutuskan UU Ciptaker No.11/2020 inkonstitusional.
Ternyata tingkat partispasi publik dan keterbukaan informasi saat pembahasan RUU IKN juga rendah. Bahkan kondisinya lebih parah dibanding saat pembahasan RUU Ciptaker. Sehingga, proses pembentukan UU yang bermasalah ini menjadi salah satu poin penting yang menjadi alasan mengapa PNKN mengajukan Permohonan Uji Formil UU IKN kepada MK.
Saat proses pembentukan UU IKN yang berlangsung hanya 43 hari tersebut, PNKN menemukan bahwa dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN oleh Pansus RUU IKN DPR dan Pemerintah, hanya ada tujuh agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses. Sedangkan untuk 21 agenda lainnya, informasi dan dokumenya tidak dapat diakses publik.
Beberapa agenda penting pembahasan RUU IKN yang tidak dapat diikuti dan diakses publik, dan dokumen-dokumennya pun tak dapat diakses antara lain adalah Rapat Pansus RUU IKN membahas Rancangan Jadwal Acara dan Mekanisme Pembahasan RUU, 7 Desember 2021; Rapat Pansus RUU IKN Pemilihan dan Penetapan Pimpinan Pansus RUU, 7 Desember 2021; Rapat Pansus RUU IKN Pemilihan dan Penetapan Pimpinan Pansus, 7 Desember 2021; Pembicaraan Tingkat I, antara Pansus dengan Pemerintah dan DPD untuk Pengesahan Rancangan Jadwal Acara dan Mekanisme Pembahasan RUU, 7 Desember 2021; Penetapan Pimpinan dan Anggota Panja RUU IKN dan pembahasan jumlah DIM, pada 13 Desember 2021; Pembahasan DIM RUU, 14-15 Desember 2021; Audiensi dengan Forum Dayak Bersatu (FDB), 17 Desember 2021; Dokumen Rapat Tim Perumus RUU, pada 6, 10 dan 11 Januari 2022; Konsultasi Publik Pansus IKN dengan pakar-pakar Unmul, Unhas dan USU, 11-12 Januari 2022; Raker Pansus IKN dengan DPD RI dan Pemerintah, sejumlah menteri terkait, pada 17 Januari 2022, informasinya disembunyikan.
Berbagai penyembunyian informasi dan dokumen yang harusnya terbuka untuk publik ini memberi gambaran bahwa partisipasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangat minim, parsial dan melanggar UU PPP No.12/20211 dan konstitusi. Rakyat justru dibatasi untuk mengikuti, apalagi jika ingin terlibat membahas dan memberi masukan. Padahal IKN merupakan wujud kebersamaan dan kesepakatan bangsa atas IKN Republik Indonesia yang seharusnya membuka partisipasi secara luas kepada berbagai pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lain dalam pembahasan.
MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah merumuskan makna partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU yaitu: _“…. masalah lain yang harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan UU adalah partisipasi masyarakat. Kesempatan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan UU sebenarnya merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan UU dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan UU tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty)”._
Dalam Putusan No.91/2020, terkait 5 tahap pembentukan UU, MK juga menyatakan: _“…. jikalau minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah UU dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Artinya, cacat formil UU sudah cukup dibuktikan apabila terjadi kecacatan dari semua atau beberapa tahapan atau standar dari semua tahapan atau standar sepanjang kecacatan tersebut telah dapat dijelaskan dengan argumentasi dan bukti-bukti…”._
Pada Putusan No.91/2020 tersebut, MK telah sangat rinci merumuskan model partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU, yang apabila hal itu tidak terpenuhi dapat membuat sebuah undang-undang cacat formil. Kaidah-kaidah yang sangat mendasar ini tentu harus berlaku pula dalam penyusunan UU IKN.
Faktanya, dengan tidak tersedianya dokumen dan gagalnya akses publik saat pembahasan RUU IKN yang harus terbuka, terutama selama periode 7 Desember 2021 hingga 17 Januari 2022 seperti diuraikan di atas, telah nyata menunjukkan partisipasi publik sangat minim, dihambat dan sengaja dimanipulasi. Hasil pantauan, penyelidikan dan diskusi PNKN dengan berbagai pihak, memperkuat fakta-fakta tentang menipulasi porses pembentukan UU IKN tersebut! Karena itu, PNKN menyatakan pembentukan UU IKN cacat formil dan mengangkangi konstitusi, karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945.
MK memang belum bersidang memutus permohonan Uji Formil UU IKN yang telah diajukan PNKN pada 2 Februari 2022 lalu. Namun, fakta lapangan menunjukkan pelanggaran hak partisipasi publik dalam proses pembentukan UU IKN lebih banyak dan rusak dibanding proses pembentukan UU Ciptaker. Padahal atas alasan partisipasi yang minim dan sengaja dihambat, MK telah memutus UU Ciptaker No.11/2020 inkonstitusional.
Karena itu, sesuai nalar masyarakat biasa dan awam hukum, secara otomatis mestinya MK menyatakan UU IKN inkonstitusional. Apalagi jika MK mempertimbangkan 3 atau 4 poin lain yang menjadi alasan mengapa UU IKN layak ditolak (seperti diuraikan dalam permohonan uji material PNKN 2 Februari 2022), maka putusan atas inkonstitusionalnya UU IKN semakin kuat dan beralasan. Publik di seantero negeri pun sudah paham tentang pelanggaran dan manipulasi ini. Mari kita tunggu, kepada siapa akhirnya MK memihak: pro konstitusi, negara dan rakyat atau pro oligarki seperti Putusan Uji Formil UU Ciptaker?
(###)