Artikel ini ditulis oleh Marwan Batubara, Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN).
Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) telah menyatakan penolakan atas rencana pemindahan Ibuk Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam (“Nusantara”), Kalimantan Timur (Kaltim) melalui pengajuan Permohonan Uji Formil UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2 Februari 2022.
RUU IKN telah ditetapkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR, 18 Januari 2022. Melalui permohonan Uji Formil (Judicial Review, JR) PNKN menuntut agar UU IKN dinyatakan inskonstitusional oleh MK. Dengan demikian pemindahan IKN pun otomatis harus dibatalkan.
PNKN merupakan gerakan advokasi masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat madani Indonesia yang mendambakan dan memperjuangkan tegaknya hukum, keadilan dan kedaulatan di bumi NKRI. Saat ini jumlah anggota pemohon awal PNKN mencapai lebih dari 120 orang, berasal dari berbagai kalangan dan daerah.
Seperti tertulis dalam Siaran Pers PNKN pada 2 Februari 2022, tokoh-tokoh yang tergabung dalam PNKN antara lain adalah Dr. Abdullah Hehamahua, Dr. Marwan Batubara, Dr. H. Muhyiddin Junaidi, Jendera TNI (Purn) Tyasno Sudarto, Letjen TNI. Mar (Purn) Suharto, Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat, Mayjen TNI (Purn) Soenarko, Habib Muhsin Al Attas, Taufik Bahaudin, Dr. Syamsul Balda, Agus Muhammad Maksum MSi, Drs. H. M. Mursalim, KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab, Irwansyah, Agung Mozin, Afandi Ismail, Gigih Guntoro, Rizal Fadillah, Narliswandi Piliang, Neno Warisman, Prof. Dr. Daniel M. Rosyid, DR Memet Hakim, Dindin S. Maolani, Abdul Rachman, M. Ikhwan Jalil, KH Ali Karar, M. Syukri Fudholi, Afandi Ismail, Mudrick M. Sangidu, Habil Marati, Kol. Purn Sugeng Waras, dan lain-lain.
PNKN memberi kuasa penuh kepada Tim Lawyer yang dipimpin Victor Tandiasa SH, MH, dengan didukung Wirawan Adnan SH, MH, Bisman Bachtiar SH, MH, Djudju Purwantoro, SH, Harseto Setyadi Rajah, SH, Eliadi Hulu SH, dan Luqmanul Hakim SH, MH.
Sejalan permohonan Uji Formil, PNKN juga sedang menyiapkan permohonan Uji Material UU IKN. Namun permohonan Uji Material akan diajukan PNKN setelah melihat perkembangan proses uji formil. Seperti diketahui, proses hukum uji formil akan berlangsung lebih dahulu dibanding proses uji material.
Uji formil merupakan proses JR atas konsistensi proses pembentukan UU terhadap UUD 1945. Sedangkan uji material adalah proses JR untuk menguji konsistensi materi muatan (ketentuan penting/strategis) terhadap UUD 1945.
Ke depan, ratusan atau ribuan anggota masyarakat, berasal dari berbagai kalangan dan daerah diharapkan akan membentuk kelompok-kelompok berstatus sebagai Pihak Terkait terhadap pemohonan Uji Formil/Materiil UU IKN yang diajukan PNKN. Permohonan oleh kelompok-kelompok Pihak Terkait ini akan dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Legal Standing Permohon Uji Formil
Hak para pemohon uji formil oleh PNKN diatur, dijamin dan dilindungi UUD 1945. Hak-hak tersebut antara lain tercantum dalam: a) Pasal 27 ayat (1): Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; b) Pasal 28C Ayat (2): Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya; dan c) Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Terhadap pengujian formil UU IKN, tolok ukur atau batu uji yang digunakan PNKN terutama terhadap UUD1945 adalah: a) Pasal 1 ayat (2): Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945; b) Pasal 22A: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”; c) Pasal 27 ayat (1): Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; d) Pasal 28C ayat (2): Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Selain itu, mengacu pada Putusan MK No.27/PUU-VII/2009, UU 12/2011 dapat pula dipergunakan dan dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil. Dalam hal ini batu uji yang dijadikan dasar uji formil UU IKN adalah Pasal 5 huruf-huruf a, e, f dan g, UU No.12/2011 yang menyatakan: Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; g. Keterbukaan.
Motif Oligarkis Pemindahan IKN
PNKN meyakini banyak fakta menunjukkan proses pembentukan UU IKN melanggar konstitusi dan kaidah-kaidah hukum berlaku, sehingga wajar jika dibatalkan. Bagi PNKN, menguji formil UU IKN terhadap UUD 1945 merupakan bentuk kontrol terhadap kesewenang-wenangan oleh Pembentuk Undang-Undang (Pemerintah dan DPR) yang memiliki beragam kepentingan tertentu dan pro-oligarki yang mengenyampingkan dan melanggar prosedur pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU No.12/2011.
Merujuk pengalaman beberapa negara, ada sejumlah alasan umum yang menjadi motif atau alasan pemindahan ibu kota suatu negara. Alasan-alasan dimaksud antara lain adalah karena kondisi demografi/kepadatan penduduk, kepentingan ekonomi, bisnis, representasi wilayah, ancaman keamanan, kondisi geografis, kompromi politik, efektivitas penyelenggaraan negara melalui pemisahan sentra pemerintahan dan sentra ekonomi, dan lain-lain.
Kita mencatat berbagai alasan yang dikemukakan pemerintah mengapa IKN harus pindah ke “Nusantara”, seperti tertuang dalam Buku Saku Pemindahan IKN yang diterbitkan Bappenas (Juli/2021). Dari buku saku tersebut tetangkap kesan, alasan utama yang “dipakai” guna menjustifikasi pemindahan IKN adalah terkait aspek-aspek geografi, demografi dan ekonomi. Hal-hal ini dikampanyekan antara lain dengan menampilkan data-data konsentrasi penduduk di Jawa (57%), sumber PDB dari Jawa (59%), daya dukung Jawa, serta perlunya distribusi ekonomi dan pemerataan pertumbuhan.
Meskipun manfaat pemindahan IKN ada, namun alasan-alasan di atas sangat sumir, tidak relevan dan bukan merupakan solusi yang tepat saat negara sedang menghadapi pandemi Covid-19 dan kondisi keuangan negara yang sangat terbebani dengan utang besar (sekitar Rp 7000 triliun). Belum lagi jika bicara tentang aspek historis dan konsensus nasional masa lalu, serta kondisi rakyat masa kini. Jumlah rakyat miskin lebih dari 100 juta orang dan indeks Gini mendekati 40%.
Manfaat ekonomi, pemerataan dan pengentasan kemiskinan yang diperoleh dari pemindahan IKN sangat minim jika dibandingkan dengan pengorbanan dan dana sangat besar yang dikeuarkan. Dibanding memindahkan IKN, tersedia cara lebih efektif, efisien dan adil untuk mencapai pemerataan dan pengentasan kemiskinan, jika pemerintah dan DPR berniat untuk itu.
PNKN sangat yakin motif utama pemindahan IKN adalah perburuan rente dan kepentingan oligarki mempertahankan dominasi kekuasaan melalui penguasaan aspek-aspek ekonomi, keuangan, sosial politik, dll. Diyakini, terdapat pula motif lain, berupa kepentingan China mendominasi dunia melalui inisiatif one belt one road (OBOR) guna mendapat manfaat dan pengaruh secara ekonomi, keuangan, lapangan kerja, sosial-politik, hankam dan geopolitik, sehingga lambat laun bisa menguasai Indonesia. Selain itu terdapat pula sejumlah kelompok tertentu, termasuk PKI, yang memaksakan kehendak agar sejarah panjang perjuangan bangsa di Jakarta, terutama ummat Islam, terputus dari rantai sejarah kolektif perjuangan bangsa Indonesia.
Saat menyampaikan permohonan uji formil pada 2 Februari 2022, PNKN mengajukan lima alasan mengapa UU IKN harus dibatalkan. Alasan-alasan tersebut adalah: 1) dibentuk tidak berdasar perencanaan berkesinambungan, 2) tidak memuat materi muatan penting dan strategis seperti seharusnya, 3) parsipasi publik sangat minim, 4) tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat, dan 5) tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan. Berbagai argumentasi PNKN tersebut akan diuraikan dalam tulisan-tulisan berikutnya.
[***]