SYAHWAT partai-partai besar untuk tetap berkuasa ternyata memang tidak ada batasnya. Setelah mencicipi empuknya kursi plus seabrek fasilitas dan berbagai privilege, mereka jadi ketagihan. Itulah sebabnya, segala cara ditempuh untuk melestarikan kekuasaan. Bukan cuma itu, mereka juga menggelar strategi dan bejibun cara untuk menjegal munculnya pesaing baru yang bisa membahayakan kekuasaannya.
Drama seperti inilah yang kini tengah dipertontonkan partai-partai (besar) di Senayan. Ya, mereka tengah menggodok RUU Pemilu. Dari sejumlah masalah yang dibahas, yang paling seksi adalah soal Presidential Threshold (PT) alias ambang batas minimal seorang bisa dicalonkan sebagai presiden. Partai-partai besar, tentu saja, memasang angka tinggi-tinggi untuk menutup peluang munculnya Capres lain di luar lingkaran mereka. Itulah sebabnya mereka ngotot presidential threshold tetap harus ada sebagaimana UU Pilpres terdahulu, yakni 20% kursi di DPR atau 25% perolehan suara sah nasional.
PDIP, Golkar, dan Demokrat yang masuk dalam gerbong partai besar berdalih PT dibutuhkan agar pemerintahan yang kelak terbentuk kuat, tidak gampang (di)goyah(kan). Menurut mereka, presidential threshold sangat penting, karena penguatan sistem presidensial akan terjadi bila presiden didukung kekuatan signifikan dari parlemen.
Tapi sebetulnya, mereka takut jagonya bakal keok seiring bermunculannya calon-calon presiden alternatif dari setiap parpol yang menjadi peserta Pemilu 2019. Ketakutan parpol-parpol besar itu tanpa mereka sadari telah memunculkan sifat minder rendah diri. Lebih mendasar lagi, ketakutan itu adalah ‘pengakuan’ bahwa selama ini kader dan jagoan mereka memang tidak bekerja untuk rakyat. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa mereka selama ini sudah menipu dan menyakiti rakyat.
Masih ingat ada partai yang bolak-balik mengklaim partainya wong cilik? Begitu mereka berkuasa, berbagai kebijakannya justru banyak merugikan dan menyakiti wong cilik. Mereka menjual gas dengan harga supermurah ke China, mengobral Indosat dan BCA, melego kapal supertanker (VLCC) milik Pertamina dengan banting harga lalu memerintahkan Pertamina menyewa kapal itu dengan harga tinggi, dan seterusnya dan lainnya. Kelakuan para elit dan jagoan parpol besar lainnya juga setali tiga uang. Sama saja!
Sebaliknya, partai kecil atau partai baru berharap angkanya bisa parkir di titik 0%, agar mereka bisa menyorongkan calon sendiri. Mereka yakin calon yang diajukan bisa menjadi alternatif bagi rakyat, di tengah kejumudan calon yang dijagokan parpol besar dan penjaga dan penikmat status quo.
Bagaimana buat rakyat? Sebetulnya, sebagian besar rakyat sudah kadung pesimistis, bahkan skeptis. Lintasan sejarah membuktikan, berkali-kali Pemilu nyaris tidak menghasilkan manfaat apa-apa buat rakyat. Demokrasi dengan Pemilunya hanya menghabiskan anggaran dalam jumlah fantastis untuk kepentingan para elit.
Rakyat merasa hanya dibutuhkan dan disapa menjelang dan saat Pemilu. Saat itulah rakyat tiba-tiba menjadi penting. Para elit ujug-ujug menyulap diri sangat perhatian dan penuh empati terhadap rakyat. Mereka jadi sibuk blusukan ke kampung-kampung kumuh bergang sempit dan becek, berjabat tangan dan menggendong anak-anak kecil dengan ingus keluar masuk dari hidung, menyambangi mbok-mbok bakul di pasar-pasar tradisional, dan seterusnya.
Namun begitu pesta berakhir, mereka kembali menampakkan jati dirinya. Para anggota legislatif kembali bekerja untuk partainya. Jangankan berjuang untuk kepentingan rakyat sebagaimana janji-janji yang mereka semburkan waktu kampanye, untuk sekadar datang rapat pun emoh. Lihat saja foto besar-besar di media, betapa ruang sidang paripurna kosong-melompong. Kalau pun ada yang hadir, mayoritas asyik bermain gadget atau malah tidur pulas. Tragis dan ironisnya, pemandangan serupa terus dan terus terulang dalam setiap rapat-rapat itu.
Jadi, buat mayoritas rakyat, mereka sudah nyaris tidak peduli mau ada Pemilu (Pileg atau Pilpres). Toh nasib rakyat tak kunjung berubah. Toh saat beban hidup kian berat karena dihimpit lonjakan harga-harga, pemerintah dan DPR tidak berbuat apa-apa. Yang ada, justru mereka disuruh memecahkan masalahnya sendiri.
Tapi kalau saja ditelisik sikap apatis dan skeptis rakyat, ternyata penyebabnya karena kecewa yang mendalam. Para elit yang terpilih itu adalah orang-orang yang memalsukan identitas. Saat masih menjadi calon, mereka tampil sebagai sosok yang peduli, pejuang kepentingan rakyat, jujur, adil, amanah, dan serenceng sifat mulia lain. Namun begitu terpilih, ternyata semua identitas tadi adalah palsu belaka. Mereka telah menipu rakyat dengan memalsukan identitas.
Tragisnya, kisah ini terus-menerus berulang dengan aktor yang nyaris sama. Juga berlaku bukan saja untuk para anggota legislatif, tapi juga para eksekutifnya. Yang maju sebagai calon adalah orang yang sama, atau minimal dengan watak, karakter, kapasitas, dan kapabelitas yang sama. Sekali lagi, ini berlaku untuk semua calon, termasuk calon presiden dan wakil presiden!
Nah, pada titik inilah asal-muasal masalah. Rakyat selalu saja dihadapkan pada tidak adanya pilihan alternatif. Bahasa gaulnya, calon yang ada hanyalah 4L, loe lagi loe lagi. Capres yang disorongkan parpol-parpol penggenggam hak presidential threshold adalah orang yang (nyaris) sama, dia lagi dia lagi!
Tak pelak lagi, PT telah menyebabkan tidak kunjung lahirnya capres alternatif. Capres yang benar-benar dibutuhkan rakyat karena kemampuan dan intergitasnya telah teruji. Sejarah menunjukkan realitas yang menyakitkan. Berapa banyak calon yang bagus harus kalah sebelum bertanding. Mereka tidak bisa maju karena tidak ada parpol besar yang mau mengusung. Alasannya bukan karena para calon alternatif itu buruk, melainkan karena mereka tidak sanggup menyetor mahar dalam jumlah superjumbo ke parpol-parpol transaksional tadi.
Sehubungan dengan itu, presidential threshold seharusnya ditiadakan. Pemilu serentak legislatif dan presiden membawa konsekuensi logis, bahwa semua partai politik peserta pemilu berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Bagaimana kalau kelak Pemilu bakal dijejali banyak Capres? Gampang. Konstitusi sudah punya mekanisme penyaringan secara alamiah. Pada Pilpres ada sistem majority run off, yaitu pasangan calon harus memperoleh sekurang-kurangnya 50% suara dengan sebaran 2/3 daerah provinsi di Indonesia untuk menjadi calon terpilihi. Jadi, katakanlah, Pilpres diikuti 1.000 calon, mereka akan berguguran dengan sendirinya pada putaran kedua. Lagi pula, pada akhirnya yang terpilih adalah Capres yang benar-benar bermutu. Bukan saja soal kapasitas dan kapabelitasnya, tapi juga integritasnya memang top markotop.
Ayo rakyat Indonesia jangan cuma diam dan nrimo. Mau terus-terusan disuguhi capres abal-abal!
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)