RAKYAT Indonesia bergerak. Saat dinihari, 5 November, Â rakyat terus membanjir ke gedung DPR. Satu juta massa aksi tanggal 4 November, di depan Istana, bubar dengan meninggalkan insiden kerusuhan.
Presiden Jokowi melakukan konprensi pers, aksi massa menurutnya aman dalam jadwal normal, yakni sampai jam 6 sore. Sedang aksi setelahnya, Jokowi menuduh ada aktor yang mendorong terjadinya kerusuhan. Termasuk adanya insiden di Jakarta Utara.
Rakyat ini tidak peduli dengan teori konspirasi. Atau dituduh ada aktor penunggang. Mereka datang dari seluruh penjuru Jakarta, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Lombok, dan bagian lainnya dari daratan Indonesia tercinta. Ikhlas.
Mereka pindah dari Istana dengan ikhlas, berjalan kaki ke DPR. Dengan spirit perjuangan melawan penista agama Islam, Ahok, dan yang dikumandangkan dalam pidato-pidato di Monas tadi, yakni melawan pelindung Ahok, yakni Jokowi.
Kesalahan Jokowi
Dalam konteks demo rakyat raksasa tanggal 4 November, Jokowi mempunyai 2 kesalahan besar dalam sejarah bangsa ini. Mengapa?
Pertama, Jokowi melakukan simbolisasi dirinya sebagai tokoh rakyat jelata selama kampanye persiapannya menjadi walikota, gubernur dan presiden. Selain menunjukkan kedekatannya dengan pedagang kaki lima di Solo, bahkan Jokowi dinobatkan majalah Time sebagai tokoh penuh harapan.
Model pencitraan ini telah memberi harapan pada rakyat bahwa Jokowi  dekat dengan rakyat. Senang mendengar aspirasi dan keluhan rakyat. Jokowi adalah rakyat. Jokowi adalah kita.
Faktanya, pada tanggal 4 November ini, Â Jokowi menghindar dari rakyat. Jokowi telah memandang persoalan ummat Islam, ummat mayoritas, warga rakyatnya sendiri, secara sepele.
Ketidakpuasan rakyat atas penanganan kasus Al Maidah yang lambat, yang dinyatakan dalam demo sejuta massa, adalah sebuah aspirasi. Hal itu seharusnya direspon dengan melakukan dialog langsung dengan rakyat.
Jokowi seharusnya menjelaskan langsung. Menerima pimpinan massa. Pertimbangannya dua hal, yakni sifat persoalan yang fundamental. Sensitif terhadap terpecah belah nya bangsa ini.
Soal penggusuran pedagang kaki lima saja Jokowinya dialog, kenapa persoalan yang jauh lebih besar, Jokowi menghindar. Lalu, lainnya, skala massa merupakan aksi massa terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Bagi orang yang lahir dari gerakan massa, seorang pemimpin rakyat, faham betul bahwa pengorganisasian massa adalah pekerjaan besar. Besarnya jumlah massa ini menunjukkan besarnya sifat gerakan ini.
Kedua, demonstrasi besar 4 November tadi adalah hak konstitusional rakyat. Tuduhan Jokowi bahwa ada aktor politik yang memanfaatkan situasi, sehingga ada kerusuhan di seputar Monas dan di Jakarta Utara, adalah tuduhan konspiratif.
Dalam dunia politik Jokowi telah berusaha membangun persepsi yang keliru tentang gerakan bela Islam yang di komandoi Habib Rizieq, Bachtiar Nasir dan kawan-kawan ini. Kerusuhan kecil pada saat aksi ini bukanlah persoalan besar yang dikaitkan dengan niat politik diluar konteks demo tersebut.
Persoalan kerusuhan kecil itu sebenarnya masih dalam dampak dan konsekwensi logis dari ketidak puasan massa atas respon dan dialog politik dengan elit.
Selain Jokowi hanya mendelegasikan kepada pembantunya dialog dengan pimpinan massa, semula Wiranto, lalu akhirnya Jusuf Kalla. Massa juga kecewa karena persepsi massa tuntutan mereka sebenarnya gampang dipenuhi Jokowi, karena sial penghinaan agama ini merupakan kewajiban konstitusional Jokowi, menjaga stabilitas nasional, yang serta merta bisa dipenuhi. Bukan besok dan besok. Jadi, pencarian “kambing hitam” bukanlah cara beradab dalam demokrasi.
Massa rakyat ini bergerak tidak ada hubungannya dengan Prabowo, SBY atau siapapun. Tentunya, kalau banyak jenderal purnawirawan TNI di lapangan aksi, banyak tafsir yang bisa diberikan, tanpa perlu menuduh mereka sebagai aktor politik. Sekali lagi massa aksi ini, sampai saat ini, Â berangkat dari ketulusan hati memperjuangkan agamanya.
Situasi saat ini tampaknya semakin buruk. Massa rakyat bertahan di gedung DPR dengan suasana revolusioner. Sebuah revolusi sudah terjadi. Revolusi itu sendiri mungkin saja akan segera terjadi. Kepercayaan rakyat pada Jokowi juga sepertinya telah  runtuh.
Kesalahan Jokowi sekali lagi adalah merasa bahwa potensi konflik sosial ini terbatas persoalan Pilgub DKI saja. Padahal gangguan ketenangan dan kedamaian sosial telah terjadi dalam bentuk dan alasan lain. Penistaan agama oleh Ahok dan Jokowi kurang peduli.
Oleh Syahganda Nainggolan, Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle