KedaiPena.Com – Isu kampanye dalam Pilpres 2019 ibarat menu makanan. Namun, baik pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno masih menyajikan menu tahu dan tempe.
Kedua pasang masih sama-sama terbuat dari kedelai. Padahal, rakyat membutuhkan menu yang jauh lebih baik, seperti ikan, daging dan variasinya.
Demikian disampaikan begawan ekonomi Rizal Ramli dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com ditulis Minggu (25/11/2018).
“Mereka masih membesar-besarkan hal-hal sepele sehingga tidak memberikan arti atau gizi positif bagi masyarakat,” tegas Rizal.
Khusus untuk petahana, lebih mengampanyekan dan membesar-besarkan hal-hal sepele, seperti kasus Ratna Sarumpaet, ucapan kata Sotoloyo, Genderuwo, Boyolali dan yang terbaru kata Tabok.
Sekarang ini, sambung RR, sapaannya, perpolitikan di Tanah Air memasuki masa di mana masalah kecil dan sepele dibesar-besarkan dan tidak memberikan menu bergizi bagi masyarakat.
Padahal, menurut eks penasehat ekonomi PBB ini, isu penting sekarang ini, pertama adalah ekonomi makro untuk menumbuhkan kepercaayan.
“Semuanya mengeluhkan current account deficit, trade balance deficit. Semua mengeluh,” ujar alumni Boston University.
Kedua, isu korporasi baik BUMN dan swasta. “Saat ini, return on equity (RoE) BUMN hanya 6,7%. Padahal, jika aset itu disimpan di Bank, RoE BUMN bisa mencapai 9% tanpa melakukan apapun,” papar Rizal.
Ketiga, daya beli yang merosot. Pemerintah, menurut dia, mengklaim harga-harga stabil. Itu betul, tapi stabil di tingkat yang tinggi. Harga-harga yang tinggi ini belum mencerminkan anjloknya rupiah. Sebab, sampai saat ini, para pengusaha masih punya stok yang cukup di harga lama.
“Baru Desember-Januari akan terasa naik harga akibat anjloknya rupiah. Saya bukannya nakut-nakutin,” timpal dia.
Harga-harga merupakan isu yang sangat penting. Oleh karena itu, pada reformasi 1998, tuntutan utama adalah menurunkan harga-harga sebelum menjatuhkan rezim Soeharto dan kroni-kroninya.
Pemerintah mengklaim daya beli yang terjaga. Tapi anehnya, upah konstruksi di perkotaan turun. Padahal, pemerintah sedang menggenjot infrastruktur. Ini enggak masuk akal. Di perdesaan juga juga begitu. Jadi, yang terjadi sekarang dengan daya beli adalah stagnasi dan penurunan,” tuturnya.
Isu keempat adalah isu pengangguran. Pemerintah menyebutkan, pengangguran terbuka mencapai turun ke level 5,13% dalam kisaran 6-7 juta orang.
“Akan tetapi, angka ini disurvei dengan ukuran yang tak lazim, yaitu satu jam semiggu bekerja. Itu pun disurvei saat panen. Padahal, lazimnya bekerja adalah 20 jam seminggu bahkan 35 jam. Kalau ini yang jadi patokan, maka hanya 1/3 adalah orang yang mengaku bekerja,” ucapnya.
Rizal pun berharap, pemerintahan baru nantinya bisa membalikan keadaan dari 1 orang bekerja berbanding dengan 2 orang menganggur menjadi 2 orang kerja berbanding 1 orang menganggur.
“Sekarang, petahana enggak mau kompanye soal ekonomi. Sebab, indikator-indikatornya jeblok. Padahal, isu ekonomi merupakan menu bergizi bagi masyarakat meskipun hanya sedikit orang yang paham,” tuturnya.
“Meski begitu, soal infrastruktur saya salut untuk Jokowi. Tapi ekonomi kan bukan hanya infrastruktur,” kata Rizal.
Laporan: Muhammad Hafidh