KedaiPena.com – Peneliti Ahli Utama (Research Professor) dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Edvin Aldrian, kembali terpilih sebagai Vice Chair Working Group I The Physical Science Basis di Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC).
Sebagai informasi, IPCC adalah badan internasional dibawah naungan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) yang mengkoordinasi antar pemerintah dalam mengkaji perubahan dan variabilitas iklim secara keilmuan (scientific).
Edvin sudah memegang jabatan yang sama di IPCC selama delapan tahun. Dalam pertemuan IPCC di Nairobi, baru-baru ini, ia kembali terpilih setelah mendapatkan dukungan lebih dari 50 persen suara, mengalahkan para ilmuwan lainnya dari Australia dan Selandia Baru.
Pada tahun 2012, Edvin merilis pemodelan perubahan iklim untuk wilayah asia tenggara. Pemodelan tersebut kemudian digunakan oleh IPCC sebagai salah satu rujukan penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan fisika dasar (physical science) untuk lebih memahami variabilitas dan perubahan iklim.
Terpilihnya kembali Edvin Aldrian sebagai Vice Chairman tersebut memiliki makna strategis yang tinggi. Indonesia sebagai negara benua maritim yang memiliki peran geostrategis natural dalam mengontrol iklim bumi adalah diakui oleh dunia internasional.
Edvin menyatakan proses untuk menjabat sebagai Vice Chair Working Group I kali ini cukup menantang karena harus bersaing dengan ilmuwan dari Australia, Selandia Baru, dan Malaysia.
”Voting di IPCC berlaku regional. Mengingat saya berasal dari Indonesia, maka voters saya berasal dari regional lima, yaitu Asia Tenggara, Pasifik Barat Daya, dan ASEAN. Saya dibantu negara kepulauan seperti Tonga, negara-negara Muslim seperti Bangladesh, Bahrain, Turki, dan juga Amerika Latin,” kata Edvin, melalui keterangan tertulis, Kamis (3/8/2023).
Ia menceritakan, biasanya, pemungutan suara dalam menentukan jabatan IPCC dilakukan dua kali. Tapi kali ini pemungutan suara hanya dilakukan sekali karena dirinya telah mencapai voting di atas 50 persen dalam putaran pertama, yakni 74 dari 140 negara.
Dalam penugasan ke depan, Edvin akan melakukan penelitian untuk laporan asesmen ke-7. Laporan ini berfokus pada tiga polar di dunia, yakni polar pertama di kutub es, polar kedua di daratokan, dan polar ketiga di Himalaya. Ia juga akan melakukan penelitian di bidang iklim perkotaan yang berkaitan dengan polusi udara yang berpengaruh pada kesehatan.
“Saya menilai bahwa apa yang terjadi di Himalaya terkait dengan perubahan iklim. Apa yang terjadi di Himalaya dapat berdampak pada negara-negara di sekitarnya, seperti Pakistan, India, Sri Lanka, Bangladesh, dan sebagian negara di Asia Tenggara,” tuturnya.
Selain itu, ke depan, ia juga berharap kebijakan mitigasi perubahan iklim harus lebih kuat. Sebab, berdasarkan kalkulasi IPCCsecara periodik dari tahun 2018, pencapaian kenaikan suhu 1,5 derajat celsius diperkirakan bisa terjadi tahun 2052.
“Namun, perkiraan ini semakin memburuk ketika proyeksi kembali dilakukan tiga tahun kemudian atau pada 2021, yakni kenaikan suhu 1,5 derajat celsius akan terjadi pada 2042. Bahkan, temuan terakhir pada tahun ini, kenaikan suhu 1,5 derajat celsius justru akan dicapai tahun 2030,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa