KedaiPena.Com – Kontroversi ekspor benih lobster mencuat pasca Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan.
Pro dan kontra pun menguat pasca kebijakan ini diterbitkan. Banyak kalangan yang menilai dari pada melakukan ekspor, lebih baik jika pemerintah fokus terhadap budidaya terlebih dahulu.
Politikus Partai Gerindra Rahayu Djojohadikusumo mengaku setuju dengan usulan budidaya lobster tersebut.
Nama Rahayu sendiri menjadi perbincangan setelah perusahaan yang ia pimpin yakni PT Bima Sakti Mutiara mendapatkan izin sebagai ekspotir lobster dari Menteri KKP Edhy Prabowo.
“Saya sangat sepakat dengan budidaya produk bahari apapun. Terutama satu karena secara populasi dunia ini kan kita bertambah terus,” kata Sara, sapaannya kepada KedaiPena.Com, ditulis Selasa, (14/7/2020).
Sara memandang, jika tidak melakukan budidaya, maka sangat kesulitan untuk dapat mengkonsumsi produk laut di kemudian hari.
“Saya sangat setuju dengan budidaya karena itu bisa membantu masukan makanan kita, ketahanan pangan kita. Dan pada saat yang bersamaan kita juga menjaga lingkungan hidup kita,” ungkap Sarah.
Namun demikian, lanjut Sarah, khusus budidaya lobster diperlukan sustainable aquaculture atau budidaya perikanan berkelanjutan dengan cara melakukan ekspor.
Alasannya, kata Sarah, lantaran bahan pakan untuk lobster cukup mahal sehingga membutuhkan finasial yang banyak.
“Kalau kita misalkan tidak kuat secara finansial, itu akan sangat susah. Karena pakannya itu, untuk satu kilogram lobster, butuh 30 kilogram pakan, bayangkan, pasti itu kan sangat berat. Untuk usaha besar manapun, itu juga akan sangat susah untuk kita lakukan secara suistanable,” ungkap Sara.
“Kan berarti harus ada income (untuk pembudidaya), untuk memberi makan dan melakukan budidaya,” tambah mantan Anggota DPR RI ini.
Tidak hanya itu, lanjut Sara, banyak para pakar menyatakan jika lobster itu hanya bertahan bukan satu persen, tapi nol koma satu persen jika berada di alam atau laut.
Dengan demikian, tegas Sara, dapat dibayangkan jika hanya menangkap dari yang ada, tanpa adanya proses budidaya benih tersebut.
“Berarti kan hanya menangkap dari yang nol koma satu atau nol koma nol satu persen itu. Tetapi kalau misalkan kita bisa mengambil untuk kita budidayakan itu berarti kita justru menekan mortality rate mereka. Yang tadinya potensi hidup hanya nol koma nol satu atau nol koma satu persen itu menjadi minimal 30 persen. Bahkan kalau di Vietnam itu mereka sudah berhasil sampai 70 persen. Saya berharap kita bisa sampai ke level itu gitu loh,” ungkap Sara.
Laporan: Muhammad Lutfi