KedaiPena.Com – Tokoh perempuan yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati mengaku, prihatin dengan upaya pelaku pemerkosaan di Bekasi berinial AT (21) yang ingin menikahi korbannya PU (15) sebagai bentuk tanggung jawab.
Meski memprihatinkan, Saraswati begitu ia disapa mengaku, tidak terkejut dengan upaya pelaku untuk berdamai dengan cara menikahi korban.
“Kata-kata bertanggung-jawab dalam hal ini menurut saya adalah topeng untuk menutupi keinginan sang pelaku untuk menghindari hukuman,” kata Saraswati, Jumat, (28/5/2021).
Alasan Saraswati tidak terkejut lantaran
apa yang terjadi di Bekasi bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Sebagai aktivis anti perdagangan orang, Saraswati sering mendengar, kesaksian tersebut dari para pendamping korban pemerkosaan di daerah.
“Yang harus berhadapan dengan pihak keluarga dan bahkan aparat penegak hukum yang justru mendorong agar pelaku dan korban menikah, semata-mata agar terhindar dari stigma dan aib, dan juga menghindar adanya tuntutan hukum dan prosesnya yang bisa berkepanjangan,” tegas Sarawati.
“Pandangan dan sikap seperti ini harus disudahi,” tambah mantan Anggota DPR RI ini.
Menurut Saraswati, di negara seperti Indonesia, pembuktian dari kasus pemerkosaan saat berpacaran masih sangat berat karena beban ditekankan kepada korban untuk membuktikan bahwa kekerasan seksual itu betul terjadi.
Padahal, lanjut Saraswati, kekerasan seksual ini bisa terjadi saat ada intimidasi dan pemaksaan dari pihak pelaku. Bahkan sering kali tidak terlepas dari kekerasan fisik.
“Belum lagi rayuan seperti. Kalau kamu sayang sama aku, kamu harusnya mau berhubungan intim denganku” bukan hal yang aneh lagi,” geram Saraswati.
Saraswati mengungkapkan, pelaku juga kerap mengintimidasi sang korban dengan “revenge porn”. Yang dimanax mengancam korban bahwa jika dia tidak mau melayaninya lagi atau jika dia memberitahukan kepada orang lain, foto atau video yang diambilnya akan disebar luaskan.
Dengan demikian, kata Saraswati, karena terlepas dari adanya penegakan hukum bagi pelaku sebagai penyebar konten pornografi maupun kondisi mental korban saat kejadian tetap akan terkena dampak sosial.
“Dalam kasus AT dan PU, berdasarkan bukti psikologis dan fisik, serta kesaksian korban, seharusnya sudah cukup untuk mendorong aparat penegak hukum untuk menegakkan keadilan dengan menggunakan UU no. 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU no. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,” papar Saraswati.
Saraswati memastikan, dirinya beserta Yayasan Parinama Astha mendukung adanya penjatuhan hukuman yang seberat-beratnya kepada tersangka pelaku AT.
Namun, tegas Saraswati, jangan dilupakan bahwa ada pelaku-pelaku lain yang masih lepas dari jeratan hukum, yaitu mereka yang melakukan pemerkosaan terhadap PU selama dirinya mengalami pemaksaan pelacuran oleh pelaku.
“Setiap dari mereka berdasarkan undang-undang yang disebut telah melakukan hubungan intim dengan anak di bawah usia 18 tahun dan tentunya melakukannya dalam konteks pelacuran dan eksploitasi seksual sehingga masuk dalam kategori pelaku perdagangan anak,” papar Saraswati.
Saraswati juga meminta, agar pihak aparat penegak hukum juga menggunakan kekuatan Cyber Crime Unit untuk mengejar para pengguna jasa dan klien perdagangan anak.
Terakhir, tegas dia, tak kalah pentingnya adalah proses pemulihan dan hak restitusi bagi korban.
“Sebaiknya pihak kepolisian dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang diamanatkan oleh UU no. 31 tahun 2014 tentang Perubahan UU no. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan keadilan dan pemenuhan hak bagi korban dan keluarganya. Yayasan Parinama Astha yang memang fokus bergerak dalam perlawanan perdagangan orang akan terus mengawal prosesnya kasus ini sampai tuntas,” pungkas Saraswati.
Laporan: Muhammad Hafidh