KedaiPena.Com – Sikap radikalisme, intoleransi adalah sikap yang bukan terjadi begitu saja di grassroot, tetapi yang mengkreasi intoleransi justru terjadi pada tingkat-tingkat influencer masyarakat yang sering disebut sebagai provokator, yang memprovokasi situasi.
Hal ini disampaikan Dr. Ahmad Ganis, Ketua Pelaksana Badan Pembina Yayasan Paramadina dalam diskusi bertema “Intoleransi, Musuh Bangsa, Musuh Bersama, Membangun Kesalehan Sosial” melalui platform Twitter Space @paramadina, belum lama ini.
“Memang ada masalah-masalah mendasar yang masih terjadi pada bangsa Indonesia, misalnya perbedaan sosial ekonomi gap yang menganga lebar. juga pengentalan-pengentalan pemahaman agama, baik agama Islam maupun agama lainnya yang menganggap dengan pengertian sempit bahwa sumber kebenaran adalah pihaknya, dan menafikan kebenaran yang mungkin muncul dari pihak lain,” katanya.
Ahmad Ganis menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan pandangan politik yang picik, misalnya atas isu-isu lokal sederhana saja dapat menyebabkan konflik horizontal, baik antar desa, suku dan antar agama.
“Itu terjadi misalnya di Ambon, Poso dan tempat-tempat lain. Semuanya adalah route of the problem yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan cara-cara damai dan bijak, di mana para intelektual dan semua pihak mengatasi bersama-sama dengan cara-cara damai,” imbuhnya.
Menurutnya kebhinekaan Indonesia harus dilihat sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Kesatuan dan persatuan Indonesia bukan transaksional tetapi lebih diikat pada cita-cita dan kesamaan yang luhur dan rasa cinta tanah air Indonesia.
“Itulah yang sering disebut oleh almarhum Nurcholish Madjid sebagai menyatunya Islam dan Kebangsaan. Keagamaan dan Kebangsaan menyatu oleh rasa cinta tanah air,” lanjutnya.
Ia juga menyatakan bahwa metode penyelesaian masalah intoleransi dan radikalisme dengan model symptomatic therapy, wether dengan approach-approach kekuasaan, approach transaksional tidak akan menyelesaikan masalah.
Api dalam sekam tetap ada, justru semua perbedaan harus dibangun dengan pendekatan-pendekatan batiniah yaitu dengan saling asah, asuh dan saling asih. Itulah filosofi bangsa yang semestinya terus diterapkan oleh bangsa Indonesia.
Ganis juga menyoroti bahwa sikap pesimistik dan membiarkan segala permasalahan radikalisme dan intoleransi kepada pemerintah adalah sikap berbahaya untuk kesatuan bangsa.
Upaya bersama untuk mengikis sikap intoleransi adalah hal strategis untuk diamankan bersama. Toleransi bukanlah kata-kata yang bersifat resiprokal, tetapi sering dimaknai sebagai dari “mayoritas dalam jumlah, kepada minoritas yang jumlahnya kecil”, tetapi intinya adalah dari yang kuat kepada yang lemah atau dhuafa. Toleransi juga berarti mengangkat derajat semua anak bangsa terlebih di pelosok yang masih tertinggal.
Dalam kesempatan yang sama Ihsan Ali Fauzi, MA, Direktur PUSAD Paramadina mengungkapkan bahwa sikap toleransi atau intoleransi bisa diukur dari sikap menerima perbedaan yang dimiliki orang lain.
“Jika terdapat perbedaan tetapi sulit mencari irisan maka keberadaan orang lain akan menjadi beban. Tetapi jika perbedaan bisa dinegosiasikan maka akan sangat bagus. Harus dihindari sikap ketidakseimbangan atau ketidakadilan sosial yang terjadi karena dibungkus dengan agama. Biasanya hal itu terjadi jika agama yang ada membawa klaim-klaim yang mendorong orang melakukan tindakan tidak adil,” katanya.
Menurut Ihsan ada dua cara agar toleransi bisa dijalankan. Pertama, kesediaan untuk memberi izin (pemission) kepada orang lain. Terutama kepada kelompok lemah yang bisa ditoleransi keberadaannya. Kesediaan memberi izin kepada pihak yang berbeda biasanya bersyarat karena ada power relation yang tidak seimbang, antara satu kelompok besar kepada kelompok kecil baik dari segi jumlah, asset, tidak hanya agama tapi juga etnis dan bisa juga usaha. Pemberian izin bisa terjadi tetapi disertai beberapa syarat tertentu.
“Kedua, saat ini sudah ada payung dari segi kehidupan sebagai kewarganegaraan modern. Dengan perlindungan sebagai warga negara, maka seseorang meski lemah tetap mendapatkan toleransi karena berkedudukan sejajar sebagai sesama warga negara. Posisi sesama warga negara menjadi saling menghormati sebagai sesama warga negara meskipun memiliki perbedaan,” tuturnya.
Variabel yang dianggap paling kuat untuk menjadikan seseorang toleran atu tidak, adalah pada sisi perception of trap. Aspek psikologis menjadi salah satu sikap prediktor paling kuat. Perception of trap tidak berubah ketika merasa terancam atau ada infomasi baru terlebih di era medsos misalnya.
“Buzzer menjadi bermain pada wilayah itu. Ketika terdapat masalah yang sebetunya sedang-sedang saja, tetapi oleh buzzer diesktrimkan sedemikian rupa sehingga penerima informasi menjadi terdorong mengambil sikap negatif. Bahkan bukan hanya mengambil sikap, tetapi karena buzzer seseorang dapat mengambil langkah tindakan yang keliru,” pungkasnya
Guru Besar Universitas Paramadina Prof. Abdul Hadi WM menyatakan bahwa Indonesia beruntung memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. sebuah pengakuan bahwa masyarakat kita berbhinneka secara etnis, budaya dan agama. Semua dipersatukan oleh kebhinekaan
“Sebagian besar bangsa kita punya ras Autronesia, berbeda dengan masyarakat di Amerika atau Malaysia. Indonesia punya rumpun yang sama meski terdiri dari berbagai etnis. Kemerdekaan Indonesia juga diikat tali persatuan, diikat juga oleh Bahasa Nasional yang sama, yang berhasil mempersatukan masyarakat,” lanjutnya.
Indonesia juga diikat oleh persamaan nasib, agama dan sejarah. Pernah dijajah Belanda 100 tahunan, berbeda dengan Malaysia. Malaysia tidak merasa bersatu maka ada politik multicultural.
“Agama di Indonesia juga menjadi alat mempersatukan dan bukan alat pemecah belah. Pesan-pesan dalam Al Quran juga mempersatukan,” paparnya.
Abdul Hadi mengungkapkan kenapa saat ini seolah persatuan rapuh, salah satunya karena Bahasa Indonesia pun dirusak. Padahal bangsa Jepang berhasil menjaga kekukuhan Bahasa Jepang sehingga tidak mudah dipecah belah.
“Masalah lain juga muncul akibat dikotomi politik yang diciptakan elit sehingga bangsa ini hidup dalam desain politik salah. Islam dan nasionalisme terus saja dipertentangkan. Seolah jika Islam maka tidak nasionalis dan seorang nasionalis bukan Islam. Pada era Nasakom, yang memaksa bangsa melulu berbicara dalam bahasa politik. Padahal pandangan agama juga faktor yang amat kaya mempersatukan etnis-etnis yang ada. Politik dikotomi juga terus merambah ke bidang etnis Jawa dan non Jawa, juga militer dan sipil,” jelasnya.
Lebih jauh menurutnya gagasan alm. Nurcholish Madjid tentang Keislaman, Ke-Indonesiaan dan Kebangsaan, tidak berhasil karena diprovokasi terus.
“Islam dianggap tidak nasionalis. Padahal Indonesia mempunyai ciri KeIslaman kental. Pluralisme Nurcholish bukan dalam pengertian liberalis atau multikulturalis. Tetapi ajaran dalam Al Quran telah menerangkan tentang makna Lakum Diinukum Waliyadiin sebagai ajaran toleransi tertinggi,” tutupnya.
Laporan: Muhammad Lutfi