PEMBAHASAN soal Ahok dan para pendukungnya (Ahoker) hari-hari ini harusnya sudah dihentikan.
Sejak kalah secara telak dalam pilkada dan divonis oleh pengadilan, kisah tentang Ahok harusnya sudah tutup buku. ‘Case closed!’ Ahok adalah bagian dari sejarah.
Namun mengamati realitas yang terjadi di lapangan dan dunia maya, bab tentang Ahok ternyata dengan terpaksa harus dibuka kembali. Ada gejala para pendukung Ahok sedang mengalami proses radikalisasi.
Ada kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan para pendukung Ahok untuk menerapkan strategi yang dikenal sebagai ‘Tiji tibeh. Mati siji, mati kabeh’. Alias ‘kalau gua nggak dapet, lu juga gak boleh dapet. Kalau gua mati, lu semua pade juga harus mati’.
Coba perhatikan apa yang dilakukan oleh para pendukung Ahok di depan Rutan Cipinang dan kemudian pindah ke depan Markas Komando (Mako) Brimob di Kelapa Dua, Depok.
Mereka melakukan unjuk rasa yang menabrak semua aturan. Dari pagi sampai tengah malam. Dan itu semua dibiarkan oleh aparat kepolisian.
Namanya juga sesuatu yang berlebihan pasti akan ada yang menabrak aturan, ‘offside’. Salah seorang pendukung Ahok melakukan orasi yang mengecam rezim Jokowi lebih buruk dari rezim SBY. Ehemmm….
Sikap Ahoker bernama Veronica Koman Lia —yang semula diduga Veronica Tan istri Ahok— ini membuat Mendagri Tjahjo Kumolo berang dan mengancam akan mengejarnya sampai dapat.
Mendagri menuntut Veronica Koman meminta maaf. Sampai disini sudah benar. Tapi menjadi tidak benar ketika Mendagri menyebar identitas e-KTP Veronica ke media. Ini juga ‘offside’.
Di dunia maya aksi para pendukung Ahok lebih mengerikan lagi. Mereka melakukan peretasan sejumlah situs. Salah satunya adalah situs milik Tempo. Padahal seperti diakui oleh pendiri Tempo Gunawan Muhammad, Tempo adalah sarang Ahoker.
Ini kalau di kalangan anak gaul namanya PMP, P(f)riend makan P(f)riend. ‘Teman makan teman’.
Yang lebih mengerikan mereka juga meng-‘hack’ situs yang digunakan untuk pendaftaran Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2017.
Bayangkan apa yang terjadi dengan nasib anak-anak kita yang tahun ini sudah belajar mati-matian untuk masuk perguruan tinggi negeri, bila datanya rusak. Ini sudah ‘destructive’, merusak.
Apakah ini dilakukan oleh Ahoker murni? Hakul yakin dan hampir pasti jawabannya Bukan!
Aksi ini pasti dilakukan kelompok-kelompok yang sedang memanfaatkan Ahoker untuk tujuan yang lebih besar. Mereka sedang menerapkan strategi ‘tiji tibeh’ dengan memanfaatkan Ahoker fanatik.
Mayoritas Ahokers sesungguhnya adalah para “remaja†yang sedang jatuh cinta. Yang dalam psikologi saat ini tengah berada pada tahapan ‘anger’, marah. Namun mengacu pada Kubler-Ross (1969) mereka akan masuk tahapan berikutnya, ‘bargaining’ (tawar menawar), ‘depression’ (depresi) dan setelah itu tiba pada tahapan ‘acceptance’ (menerima, pasrah pada nasib).
Jadi kalau toh mereka masih marah, paling-paling mereka menyakiti diri sendiri, atau paling banter lempar buku harian dan maksimal banting piring dan gelas.
Sudah sampai di situ saja. Mereka tidak akan sampai melakukan aksi rusak-rusakan, apalagi merusak keutuhan berbangsa dan bernegara.
Mereka akan kembali pada kehidupan normal seperti sedia kala. Mencari figur pengganti Ahok, kembali jatuh cinta. ‘Case closed, happy ending’.
Siapa “oknum†yang sedang menunggangi dan melakukan radikalisasi Ahoker?
Jawabannya tidak jauh-jauh adalah para oligarki yang sangat marah ketika eksperimen mereka menyatukan kekayaan dan kekuasaan dalam satu tangan, gagal.
Semula banyak yang menduga kegagalan para oligarki melakukan eksperimen politik di Jakarta membuat mereka mundur selangkah sambil menunggu momentum berikutnya. Ternyata dugaan itu salah.
Mereka tetap ingin maju seribu langkah dan bersedia mengeluarkan biaya berapapun untuk itu. ‘At all costs’.
Apa saja langkah para Oligarki ini? ‘Pertama’, radikalisasi dan memanfaatkan Ahoker. ‘Kedua’, membawa persoalan ini ke ranah internasional. ‘Ketiga’, memperjuangkan Ahok mendapat Nobel Perdamaian. ‘Keempat’, menjadikan Ahok sebagai martir.
Radikalisasi dan memanfaatkan Ahoker
Proses ini tengah berlangsung. Karena itu Ahoker sejati harusnya segera menyadari dan menyingkir jauh-jauh. Jangan mau terprovokasi.
Sadarlah Anda tengah dimanfaatkan untuk kepentingan besar yang membahayakan keutuhan berbangsa dan bernegara.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus mulai waspada. Alarm tanda bahaya sudah mulai menyala. Jangan sibuk dan terfokus hanya pada gerakan radikal ekstrem kanan.
Ada bahaya yang jauh lebih besar. Para oligarki ini punya dana yang tidak terbatas dan punya jaringan internasional yang kuat.
Membawa persoalan ke dunia Internasional
Proses ini juga sudah berlangsung. Suara-suara dari negara Eropa juga sudah muncul untuk membawa kasus Ahok ke Mahkamah Internasional dan PBB.
Mereka ini ditopang oleh sejumlah anasir di dalam negeri yang kebanyakan menggunakan kedok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Kelompok-kelompok inilah yang sering menjelek-jelek citra Indonesia di dunia internasional sebagai negara pelanggar HAM.
Ciri-ciri mereka sangat mudah dikenali. Cek siapa yang sering mencitrakan TNI sebagai pelanggar HAM? Siapa yang sering menuduh orang Islam radikal? Siapa yang menuduh kemenangan Anies-Sandi sebagai kemenangan kelompok radikal? Siapa yang getol membawa kasus pelanggaran HAM di Papua ke dunia internasional, tapi menutup mata ada gerakan separatis di sana?
Memperjuangkan Ahok mendapat Nobel Perdamaian
Jangan Anda beranggapan ini bercanda. Coba cek berbagai opini dan lalu lintas di dunia maya, sudah ada upaya-upaya itu menjadikan Ahok sebagai simbol perjuangan HAM. Menjadikan Ahok pejuang pluralisme, pejuang demokrasi.
Tapi kalau Nobel Perdamaian apa tidak berlebihan? Coba cari datanya lagi siapa saja penerima hadiah Nobel Perdamaian.
Aung San Su Kyi menerima Nobel Perdamaian tahun 1991. Anda tahu sendiri bagaimana sikapnya ketika ada etnis Rohingya dibantai oleh militer Myanmar. Dia hanya diam seribu bahasa, seperti orang yang sedang sakit gigi akut. Sejumlah aktivis di Indonesia sampai membuat petisi pencabutan Nobel Perdamaian.
Ramos Horta bersama Uskup Belo menerima Nobel Perdamaian tahu 1996. Anda tahu sendiri siapa Ramos Horta yang pernah menjadi Perdana Menteri Timor Timur.
Tahun 2007 mantan Wapres AS Al Gore menerima Nobel Perdamaian. Apa yang dilakukan oleh Al Gore? Dia membuat presentasi tentang ‘climate change’ yang dipresentasikan di ‘World Economic Forum’. Jadi hanya bermodal ‘slide’ presentasi.
Jangan lupa tahun 1939 Adolf Hitler pernah dinominasikan sebagai pemenang Nobel Perdamaian. Untungnya dia tidak memenangkannya.
Mengapa figur luar biasa seperti Gandhi dari India tidak pernah mendapat Nobel Perdamaian? Mengapa SBY dan Jusuf Kalla yang melakukan upaya luar biasa dan berhasil melakukan penghentian perang di Aceh, konflik Ambon, Poso tidak menerima Nobel Perdamaian. Masuk nominasi pun tidak.
Semua itu bias. politik. Dunia Barat adalah pemegang otoritas kebenaran dan bila kita tidak sesuai dengan agenda mereka, maka kita adalah musuh, seperti kata mantan Presiden Bush ‘Axis of Evil’, poros kejahatan, poros setan.
Jadi jangan kaget kalau Ahok bakal masuk nominasi dan mendapat Nobel Perdamaian.
Kata para leluhur di Jawa, ‘Ojo gampang kagetan, Ojo gampang gumunan. Jangan gampang kaget, jangan gampang kagum’.
Menjadikan Ahok sebagai martir
Nah strategi ini yang paling berbahaya. Ahok dan keluarga serta para pendukungnya harus super hati-hati, super waspada. Jangan terlena dengan berbagai sanjungan, puja puji dan aliran karangan bunga.
Semua itu bukan pujian yang tulus. Jangan mau dijadikan korban dan kemudian dieksploitasi.
Ada kekuatan besar yang tengah mengintai dan menjadikan Anda sebagai sarana mereka untuk mencapai tujuan.
Karena itu lebih baik Ahok tetap di dalam tahanan Mako Brimob. Lebih aman. Jangan mau dilakukan penangguhan penahanan, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Kalau perlu pengamanan di Mako Brimob khusus untuk Ahok malah harus ditingkatkan.
Semua kekuatan politik, seluruh elemen masyarakat, semua pemuka agama harus ikut menyadarkan adanya bahaya besar yang sedang mengintai. Jangan lagi menganggap unjuk rasa Ahoker sebagai bercanda dan main-main. Mereka dimanfaatkan jadi pintu masuk, sementara mereka sendiri tidak menyadari skenario besar yang akan memanfaatkan mereka.
Oleh Hersubeno Arief, Konsultan Media dan Politik