PADA tulisan sebelumnya yang berjudul Pembangkit: PLN dan Swasta Siapa Lebih Dominan? saya menekankan pentingnya penguasaan PLN atas pembangkit listrik secara dominan. Dengan penguasaan kepemilikan yang dominan, peluang swasta produsen listrik alias ‘independent power producer’ (IPP) untuk mengendalikan harga jual listrik bisa dihindari.
Sampai 2016, komposisi kepemilikan pembangkit tenaga listrik yang produksinya dijual melalui PLN Grup adalah 36.973 MW (79%) dimiliki oleh PLN Grup dan 10.121 MW (21%) dimiliki oleh swasta.
Namun entah apa yang ada di benak para pemangku otoritas perlistrikan, komposisi itu diubah melalui Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2016-2025. Berdasarkan ketentuan ini, PLN dapat alokasi membangun 10.559 MW. Selebihnya yang 25.068 MW dikerjakan oleh ‘Independent Power Producer’ (IPP) melalui kerjasama penyediaan tenaga listrik. Anda perhatikan komposisinya? Swasta punya porsi dominan, 25.000 MW lebih!
Dengan demikian, jika program ini selesai, komposisi kepemilikan pembangkit oleh PN Grup jadi tinggal 57%. Jika ini terjadi, risiko pengendalian ketersediaan pasokan listrik oleh swasta bakal terbuka lebar. Ujung-ujungnya mereka bakal mengerek harga listrik tinggi-tinggi. Bukankah laba adalah ‘tuhan’ bagi swasta yang menjadi tujuan utama?
Nah, pentingnya dominasi PLN atas penguasaan pembangkit ini ternyata disadari betul oleh jajaran direksi yang dinahkodai oleh Sofyan Basir. Masalahnya, membangun pembangkit plus infrastruktur kelistrikan memerlukan dana raksasa. Berharap pada kas PLN, sudah pasti mustahil. Untuk keperluan ini, PLN hanya bisa merogoh kocek sendiri maksimal Rp20 triliun/tahun.
Ada cara lain, yaitu menjaring utang. Tapi masalahnya, ‘debt service coverage ratio’ (DSCR) PLN hanya mencapai 1,1 kali. Padahal, DCSR ini menjadi salah satu ukuran kesehatan keuangan perusahaan dalam memenuhi kewajiban terhadap kreditor. Akibatnya, ruang yang dimiliki pabrik setrum pelat merah ini untuk menambah pinjaman baru juga kian terbatas.
Out the box
Sebagai mantan bankir kawakan, SB, begitu Sofyan biasa disapa, harus pandai-pandai menyiasatinya. Alhamdulillah, kombinasi tangan dingin dan otaknya yang encer, akhirnya jajaran Direksi PLN di bawah komandonya menemukan jurus terobosan, ‘out the box’. Ada skema pendanaan baru dalam pembangunan sebagian pembangkit tenaga listrik yang merupakan porsi IPP (proyek).
Caranya, PLN menugaskan anak perusahaannya untuk bermitra dengan pihak lain dalam mengembangkan pembangkit yang kelak akan terikat dalam ‘Power Purchase Agreement’ (PPA) dengan PLN.
PLN menugaskan anak perusahaannya mencari mitra untuk membentuk ‘Joint Venture Company’ (JVC). Perusahaan patungan inilah yang akan membangun pembangkit tenaga listrik. Untuk keperluan ini, SB minta saham anak perusahaan harus sebesar 51%.
Selanjutnya, bukan Sofyan kalau tidak canggih dalam urusan saham. Pasalnya, kendati memegang saham pengendali, dia mengharuskan anak perusahaan PLN tadi maksimal hanya menyetor modal 20% dari jumlah yang menjadi kewajibannya sesuai dengan komposisi kepemilikan saham dan struktur pendanaan proyek.
Misalnya, struktur pendanaan proyek adalah 30% ekuitas dan 70% pinjaman, maka anak perusahaan PLN hanya berkewajiban menyetorkan ekuitas secara tunai sebesar 20%x 51% x 30% x nilai proyek.
Dengan hitung-hitungan macam begini, jumlah modal yang disetorkan anak perusahaan PLN hanya 3,06% dari nilai proyek. Ulangi, hanya 3,06% dari nilai proyek! Canggih, kan? Lalu, dari mana sisa setoran modal 80% yang jadi kewajiban anak perusahaan PLN? Sebentar, jawabnya ada di bagian berikut tulisan ini.
Berdasarkan skema ini, kandidat mitra pemilik 49% saham dalam JVC wajib mencarikan pendanaan proyek. Kewajiban tersebut meliputi, pertama, menyediakan porsi pinjaman (‘senior debt’) dari proyek sesuai dengan struktur pendanaan yang disepakati (ekuivalen dengan 70% dari nilai proyek).
Kedua, menyediakan setoran ekuitas yang menjadi kewajibannya sesuai dengan komposisi kepemilikan saham dan struktur pendanaan proyek. Ini artinya, mitra anak perusahaan PLN tadi menyediakan dana 100% x 49% x 30% x nilai proyek, atau ekuivalen dengan 14,7% dari nilai proyek.
Ketiga, menyediakan ‘shareholder loan” (‘junior debt’) sebesar 80% dari nilai setoran ekuitas yang menjadi kewajiban anak perusahaan PLN (80%x 51% x 30% x nilai proyek, ekuivalen dengan 12,24% dari nilai proyek). Pola ini menjawab pertanyaan dari mana atau siapa yang berkewajiban menutup 80% sisa setoran anak perusahaan PLN dalam JVC tadi.
Kewajiban mitra yang keempat, tingkat bunga ‘shareholder loan’ (‘junior debt’) tidak boleh mahal, melainkan harus merefleksikan ‘cost of debt” PLN. Kelima, tingkat bunga pinjaman dari ‘senior debt’ harus ‘favourable’. Dengan cara ini ada ‘jaminan’ bahwa perusahaan patungan tersebut mampu mendapatkan laba profitabilitas yang wajar.
Frasa ‘wajar’ di sini menjadi penting. Pertama, perusahaan tidak didera rugi selama beroperasi. Kedua, ini yang tidak kalah penting, keuntungan perusahaan tidak kelewat gede sebagaimana yang terjadi selama puluhan tahun belakangan. Bukan rahasia lagi, selama ini PLN membeli listrik produksi swasta dengan harga kemahalan karena ‘mark up’ dan KKN antara swasta dan pejabat di belakang mereka. Akibatnya, rakyat membayar listrik dengan harga tinggi. Negara juga rugi karena harus mengalokasikan subsidi energi lebih besar.
Jika urusan pendanaan ini sudah beres, baru PLN akan menandatangani kontrak jual beli tenaga listrik (‘power purchase agreement’/PPA) dengan JVC untuk masa perjanjian selama 25 tahun. Dalam konteks ini, ada aturan sampai dengan akhir tahun ke-20 setelah proyek beroperasi komersial, berlaku ketentuan ‘take or pay’ (TOP). Maksudnya, begini. Misalnya, disepakati PLN membeli 100. PLN tetap harus membayar 100, kendati praktiknya pemakaian ternyata kuran dari 100.
Setelah itu berlaku ketentuan ‘take and pay’ (TAP). Misalnya, dalam perjanjian disepakati PLN membeli maksimal 100. Namun pratiknya yang dipakai 90. Maka PLN hanya membayar 90 sesuai pemakaian. Sebaliknya, bila ternyata pemakaian mencapai 102, maka PLN membayar 2 yang jadi kelebihan pemakaian dengan harga lebih mahal.
Dengan ketentuan ini, tarif PPA lebih murah ketimbang tarif PPA IPP ‘existing’. Sebagai contoh, untuk PLTU Mulut Tambang maksimal 75% dari biaya pokok produksi (BPP) setempat atau BPP nasional, mana yang lebih rendah. Ujung-ujungnya, PLN diuntungkan karena efisiensi biaya produksi listrik.
Kelima, selama masa kontrak jual beli tenaga listrik antara JVC dan PLN berlakuk ketentuan pengendalian JVC sebagai berikut; satu, ‘join control’ dengan ‘reserve matter’. Di sini mitra diberikan kewenangan sebagai ‘leader’ sampai dengan akhir tahun ke-15 setelah proyek beroperasi komersial.
Dua, ‘join control’ dengan ‘reserve matter’. Pada tahap ini anak perusahaan PLN gantian menjadi ‘leader’ dari akhir tahun ke-15 sampai dengan akhir tahun ke-20 setelah proyek beroperasi komersial. Tiga, pengendalian JVC mengikuti ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT) dari akhir tahun ke-20 setelah proyek beroperasi komersial sampai dengan berakhirnya masa kontrak jual beli tenaga listrik dengan PLN.
Manfaat
Berdasarkan skema ciamik racikan Sofyan dan para koleganya itu, PLN bakal memperoleh serenceng manfaat. Antara lain, pertama, bisa melaksanakan penugasan Pemerintah untuk membangun pembangkit tenaga listrik sekaligus tetap menjaga dominasi kepemilikan dalam portofolio pembangkit tenaga listrik nasional. Poin ini penting, karena PLN dapat memitigasi risiko pengendalian pasokan dan risiko pengendalian harga tenaga listrik oleh IPP.
Dua, PLN memperoleh harga pembelian tenaga listrik yang lebih rendah dibandingkan dengan harga IPP lainnya. Swasta tidak bisa lagi seenaknya mengerek harga, karena anak perusahaan PLN yang menjadi mitra kongsinya tahu persis struktur biaya investasi dan operasi pembangkit dan terlibat dalam negosiasi harga antara JVC dengan PLN.
Tiga, tidak perlu menggunakan ‘balance sheet’ dari PLN untuk mendapatkan pendanaan proyek. Pasalnya, sebagian besar kebutuhan dana proyek disediakan oleh mitra dari anak perusahaan. Skema ‘join control’ dengan ‘reserve matter’ juga membuat pinjaman dari JVC tidak perlu dikonsolidasikan ke dalam pembukuan PLN. Artinya, neraca PLN jadi lebih cantik.
Empat, tingkat bunga pinjaman dari JVC kepada shareholder (mitra) tetap kompetitif dan sebanding dengan tingkat bunga pinjaman PLN lainnya. Lima, PLN dan Pemerintah tidak perlu memberikan jaminan atas pinjaman proyek, karena pendanaan proyek sepenuhnya menggunakan ‘balance sheet’ dan kredibilitas mitra.
Enam, PLN Grup bakal memperoleh pendapatan tambahan dari kepemilikan saham anak perusahaan pada proyek berupa pembagian dividen atas laba JVC. Tujuh, anak perusahaan berkesempatan mengembangkan kompetensi tenaga kerjanya melalui keterlibatan dalam operation & maintenance pembangkit. Pada saat yang sama juga terjadi ‘transfer of technology and knowledge’ dari mitra.
Delapan, setelah berakhirnya masa kontrak jual beli tenaga listrik, maka seluruh aset pembangkit akan ditransfer kepada PLN tanpa pembayaran tambahan apapun. Kalau sudah begini, neraca PLN pun jadi makin berotot.
Skema racikan SB ini tentu saja sangat ciamik buat PLN. Inilah yang disebut ‘value creation’. Membangun pembangkit sekalgus meraup manfaat berbukit. Pada konteks ini, manfaat bukan melulu dinikmati PLN sebagai entititas bisnis. Tapi juga menguntungkan rakyat dan negara.
Tapi sayangnya, tidak semua pihak sepakat. Skema ini sama saja mengakhiri pesta-pora para ‘rent seeker’ dan pelaku KKN dari bisnis PLN. Mereka adalah para pengusaha dan penguasa yang berada di balik layar. Jadi, wajar saja bila para peselingkuh ini melakukan perlawanan.
Hasilnya, SB harus mondar-mandir hadir di sidang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai terdakwa.
Oleh Edy Mulyadi, wartawan senior