PENGHORMATAN terhadap hak asasi manusia tercantum dalam Prinsip dan Kriteria (P&C) RSPO untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan, khususnya Prinsip ke-6 Kriteria 6.13 menyatakan bahwa perkebunan dan pabrik harus menghormati hak asasi manusia dengan indikator terdapat kebijakan untuk hormat terhadap hak asasi manusia yang terdokumentasikan dan dikomunikasikan kepada setiap tingkatan pekerja dan operasional perkebunan dan pabrik.
Interpretasi nasional yang mengefektifkan Prinsip dan Kriteria RSPO yang disahkan melalui Pertemuan Dewan Gubernur pada 30 September 2016 belum mengelaborasi menjadi ketentuan yang lebih operasional dan responsif terhadap penderitaan yang dialami korban yang terdampak operasional industri perkebunan kelapa sawit, termasuk hak atas pemulihan sebagai prasyarat mendasar untuk memenuhi rasa keadilan.
Hal ini terbukti secara empirik kasus-kasus yang telah masuk melalui sistem pengaduan RSPO dan kasus-kasus yang melibatkan anggota RSPO yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia juga belum direspon, ditangani, dan diselesaikan dengan tuntas.
Padahal Prinsip ke-2 menegaskan kepatuhan anggota RSPO terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Prinsip ini kemudian dielaborasi lebih jauh melalui kriteria 2.1. yang menyatakan bahwa angota RSPO akan mematuhi semua hukum lokal, hukum nasional, dan hukum internasional yang diratifikasi dan peraturan yang berlaku.
Namun demikian, prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi manusia yang sudah diatur dalam berbagai instrumen hukum HAM internasional yang telah diratifikasi maupun nasional belum menjadi standar rujukan anggota RSPO untuk menangani kasusnya secara berkeadilan. Bahkan korban-korban yang terdampak juga belum mendapatkan pemulihan secara cepat, efektif, dan layak.
Padahal di bawah ketentuan Hukum Internasional dijamin bahwa setiap korban pelanggaran hak asasi manusia memiliki hak untuk mengakses pemulihan yang efektif. Pemulihan untuk pelanggaran HAM mempunyai tujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan kepada para korban dengan menghilangkan atau memperbaiki sejauh mungkin akibat-akibat dari tindakan salah dengan mencegah pelanggaran.
Pemulihan seharusnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan para korban harus proporsional dengan beratnya pelanggaran dan kerugian yang ditimbulkan. Dengan demikian, keefektifan suatu sistem dan mekanisme pemulihan semestinya lebih responsif melalui penyelidikan secara cepat, menyeluruh, dan tidak memihak; menghentikan pelanggaran; dan memberikan pemulihan secara memadai, termasuk pemberian restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan jaminan tidak berulang kembali.
Prinsip-prinsip ini semestinya harus menjadi nilai-nilai dasar dalam setiap penanganan kasus pengaduan, baik melalui Fasilitas Penyelesaian Sengketa (DSF/Dispute Settlement Facility) dan Prosedur Pengaduan (Complaints Procedure) dalam menangani dan memutuskan kasus-kasus yang diajukan secara adil.
Sistem pengaduan RSPO itu sendiri dibangun dan dikembangkan berdasarkan Prinsip ke-6 bahwa pertimbangan yang bertanggung jawab terhadap karyawan dan individu dan komunitas yang terkena dampak perkebunan dan pabrik. Selanjutnya Kriteria 6.3 menyatakan bahwa terdapat sistem yang disepakati bersama dan terdokumentasi untuk menangani pengaduan dan keluhan, yang diimplementasikan dan diterima oleh para pihak.
Kriteria ini memiliki indikator bahwa sistem yang digunakan dapat menyelesaikan sengketa lewat cara yang efektif, tepat waktu dan benar. Namun pengaturan tersebut belum terealisasi dalam penanganan dan penyelesaian kasus yang masuk melalui mekanisme RSPO.
Dalam konteks ini semestinya, Konferensi RSPO ke-14 di Bangkok pada 7-10 November 2014 yang mengusung tema Learning to Live Together: From Vision to Transformation (Pembelajaran untuk Hidup Bersama: Dari Visi menuju Transformasi) memanifestasikan komitmen RSPO melakukan transformasi untuk menghasilkan keputusan yang bersifat strategis untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai standar operasional.
Dengan posisi strategis Pertemuan Majelis Umum (General Assembly) RSPO seharusnya dapat mengoptimalkan para anggotanya untuk mewujudkan komitmen seluruh anggota RSPO untuk memenuhi rasa keadilan korban. Namun sayang, Pertemuan Majelis Umum RSPO yang merupakan wadah bagi pengambilan keputusan tertinggi RSPO sekaligus dapat dijadikan modalitas untuk memperkuat peran RSPO sebagai agen yang menghormati hak asasi manusia belum juga menghasilkan keputusan yang responsif terhadap korban.
Rumusan norma dalam Resolusi GA13-6e dengan judul Perlindungan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia, Whistleblower, Pengadu, dan Juru Bicara Komunitas (Protecting Human Rights Defenders, Whistleblowers, Complainants And Community Spokespersons) masih bersifat sangat umum. Resolusi ini mengharapkan sumber daya dan mandat sekretariat untuk mendukung dan memfasilitasi anggota Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia RSPO (RSPO Human Rights Working Group) untuk segera mengembangkan:
1. Prosedur sumber daya yang layak dan mudah terakses serta adanya jaminan keamanan dan anonimitas registrasi dalam Panel Pengaduan;
2. Panduan yang jelas bagi anggota RSPO dalam upaya penegakan hak asasi manusia terkait operasional mereka;
3. Limitasi waktu penyerahan proposal tindakan korektif yang dikeluarkan bagi anggota RSPO yang bertindak melanggar norma-norma untuk diadopsi oleh Dewan Gubernur dalam waktu 6 bulan.
Resolusi ini tentu belum cukup untuk memberikan pemulihan yang efektif bagi korban karena masih di bawah standar norma universal. Prinsip ke-29 Prinsip-Prinsip Panduan PBB untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa perusahaan harus membangun mekanisme pengaduan pada tingkat operasional yang efektif bagi individu-individu dan komunitas yang mungkin terkena dampak merugikan. Mekanisme tersebut dapat diakses secara langsung oleh korban yang terdampak. Pada prinsipnya terdapat 2 (dua) fungsi utama dari mekanisme pengaduan non-yudisial:
1. Mekanisme tersebut berfungsi mendukung upaya identifikasi dampak terhadap hak asasi manusia yang merugikan sebagai bagian dari uji tuntas hak asasi manusia perusahaan yang sedang berlangsung.
2. Mekanisme ini memungkinkan pengaduan setelah diidentifikasi, harus ditangani dan dipulihkan sedini mungkin.
Paling tidak standar minimal yang harus dipenuhi mekanisme non-yudisial, termasuk RSPO menurut Prinsip-Prinsip Panduan memiliki kriteria:
1. Mekanisme yang dikembangkan mendapatkan legitimasi sehingga memunculkan kepercayaan dari seluruh kelompok pemangku kepentingan untuk menggunakan mekanisme pengaduan tersebut:
2. Mekanisme yang ada dapat diakses sehingga mudah diketahui oleh seluruh pemangku kepentigan termasuk, menyediakan asistensi apabila ada hambatan dalam mengakses mekanisme yang tersedia;
3. Mekanisme ada menyediakan prosedur yang jelas dan diketahui dengan kerangka waktu indikatif untuk setiap tahap, dan kejelasan pada jenis proses dan hasil yang tersedia dan sarana pelaksanaan pemantauan;
4. Mekanisme yang ada dapat memastikan bahwa pihak yang dirugikan memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi, saran dan keahlian yang diperlukan terkait dengan proses pengaduan;
5. Mekanisme yang tersedia membantu para pihak yang mengadu mendapatkan informasi tentang kemajuan penanganannya, dan memberikan informasi yang cukup tentang kinerja mekanisme untuk membangun kepercayaan dalam efektivitas dan memenuhi kepentingan publik;
6. Mekanisme yang ada dapat memastikan bahwa hasil dan pemulihan sesuai dengan hak asasi manusia yang diakui secara internasional;
Berdasarkan situasi di atas dan masih dalam nuansa momentum hari Hak Asasi Manusia se-Dunia yang diperingati setiap 10 Desember, ELSAM menyampaikan hal-hal berikut ini:
1. RSPO harus meneguhkan komitmennya untuk menyelesaikan seluruh kasus-kasus pengaduan yang masuk dengan merujuk pada prinsip-prinsip pemulihan yang diatur dalam instrumen hukum internasional dalam rangka membangun mekanisme pengaduan yang kredibel.
2. RSPO harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara setara dalam pengambilan keputusan RSPO, termasuk penyelesaian pengaduan kasus dalam rangka mendapatkan legitimasi terhadap seluruh keputusan yang dihasilkan.
Oleh Andi Muttaqien, Deputi Direktur PHK ELSAM