PAPUA, dulu lebih dikenal sebagai Irian Jaya, adalah provinsi di ujung timur nusantara yang hampir selalu jadi perhatian. Perhatian karena keindahannya, kekayaan alamnya, dan juga karena konfliknya yang sepertinya tak berujung. Masalah demi masalah terus hinggap di bumi cendrawasih ini seperti lalat yang menghinggapi tumpukan sampah.
Padahal, Papua seharusnya adalah aset bagi bangsa. Tidak hanya kekayaan alamnya, tetapi juga keberagaman budaya dan masyarakat yang membuat decak kagum. Sayang seribu sayang, Papua tidak mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena dikonstruksikan demikian oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Sedikit bicara historisitas, pada mulanya Pulau Papua terhubung dengan benua Australia di bagian Utara tetapi karena perubahan suhu Bumi makin panas sehingga mencairnya Es di daerah Kutub Utara dan Selatan, maka terputuslah menjadi sebuah Pulau baru.
Karena itu, umur Pulau Papua ini masih dikategorikan muda sehingga proses pengangkatan pulau masih terus berlangsung hingga saat ini, proses pengangkatan ini berdasarkan skala waktu geologi dengan kecepatan 2,5 km per juta tahun.
Akibat dari adanya endapan ini sehingga Pulau Papua banyak mengandung bahan galian seperti Emas, Perak, Tembaga, Aluminium, Batu kapur, Gamping, Uranium, selain tentunya Minyak, Gas Bumi dan Batubara. Selain itu, pulau Papua memiliki Hutan Tropis yang sangat lebat karena berada pada jalur Katulistiwa, serta memiliki hasil laut yang banyak karena berada di Lautan Pasifik yang sangat luas.
Oleh sebab itu, pulau ini menjadi rebutan setiap bangsa-bangsa dan menjadi daerah konflik yang berkepanjangan sehingga banyak menimbulkan korban Penduduk Asli dan Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak dasar orang Papua.
Secara politis awal mula munculnya konflik antara orang Papua dan Jakarta terjadi sejak Indonesia menguasai tanah Papua tanggal 1 Mei 1963, serta proses intregrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia yang tidak sah. Kedua masalah ini memang perlu diselesaikan secara komprehensif dan menyeluruh. Dan bisa ditarik kesimpulan bahwa kedua persoalan ini menjadikan sumber konflik yang pertama di Tanah Papua antara orang asli Papua dan Jakarta.
Hingga saat ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin meruncing. Menurut Ben Mboi, pemerintah belum mengutamakan nation building. Selama ini pemerintah hanya mengembangkan state building yang hanya sebatas teritorial, bukan membangun manusianya.
Berikut ada pembanding sedikit tentang konflik vertikal antara pemerintah pusat dengan daerah di Quebec, Kanada yang mungkin bisa membantu kita menyelesaikan konflik di tanahnya Boaz Salossa ini.
Quiet Revolution di Quebec
Naiknya Jean Lesage sebagai Premier Quebec tahun 1960 membuka lembaran baru dalam sejarah Quebec dan menandai dimulainya periode reformasi Quiet Revolution. Lesage merupakan premier Quebec pertama dalam 122 tahun yang mampu mempolitisasi isu-isu primordial dan ketidakadilan secara efektif, serta memimpin masyarakat untuk bersatu dan bergerak bersama menuntut perhatian yang lebih dari pemerintah federal. Terlepas dari posisinya yang pada dasarnya percaya bahwa Quebec harus belajar untuk memperoleh cita-citanya dalam bingkai federasi Kanada.
Quiet revoluiton dikenal sebagai periode yang konfliktual sejarah Kanada, dimana periode ini menandai kebangkitan separatisme Quebec. Namun, salah satu hal menarik yang bisa dipelajari dari kasus ini adalah, bahwa melalui hubungan yang konfliktual antara pemerintah federal dengan pemerintah Quebec dan berhasilnya konstruksi nasionalisme Quebecois tersebutlah, konsep koeksistensi masyarakat keturunan Inggris dan masyarakat keturunan Perancis mendapatkan tempatnya di Kanada.
Jean Lesage adalah premier Quebec, di mana masa pemerintahannya menandai dimulainya periode reformasi Quiet Revolution. Ia telah meletakkan dasar bagi nasionalisme etnik masyarakat Quebec keterunan Perancis untuk bergerak bersama menuju sebuah Quebec yang mandiri dan terlepas dari tekanan kebijakan pemerintah federal yang sentralistis.
Untuk menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi di Quebec, PM Kanada kala itu, Pierre Trudeuau memberlakukan Official Languages Act yang secara resmi membuat Kanada menjadi negara dwibahasa. Diberlakukannya Official Language Act menunjukkan bahwa pemerintah Kanada tidak lagi mendiskriminasikan, mengabaikan, atau menutup mata terhadap keluhan warga Quebecois.
Berbeda dengan pemerintah Indonesia, karena masalah yang timbul di Papua adalah akibat pemerintah tidak konsisten dalam pelaksanaan otonomi khusus. Kebijakan yang ada tidaklah mampu mengakomodasi kepentingan warga Papua, bahkan cenderung diskriminatif terhadap mereka.
Pemerintah federal Kanada, yang secara kasar dapat kita sebut representasi warga keturunan Inggris, telah berhasil menjalankan kewajibannya untuk menjamin kesetaraan bagi warga keturunan Perancis. Sedangkan, pemerintah kita mengunakan kedok Otsus demi melegalkan upaya-upaya merampok lebih besar lagi kekayaan tanah Papua.
Kita dapat memahami dari contoh kasus ini, bahwa di dalam sebuah negara demokratis yang menolak penggunaan kekuatan militer sebagai jalan cepat penyelesaian konflik separatisme, negosiasi dan debat konstitusi merupakan jalan yang paling legal dan akomodatif. Dalam konteks separatisme di Quebec, pemerintah federal memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga Quebec untuk berdebat dan mempertahankan argumen-argumen mereka sebagai bagian dari upaya mereka menentukan arah masa depan negara.
Menurut Ketua Sinode GKI Papua Yemima Krey, di Papua, stigma separatisme selalu ditudingkan kepada warga Papua yang kritis. Di Kanada, pemerintahnya percaya bahwa kebebasan berwacana tidak perlu dibatasi, dan bahwa tindakan inkonstitusional seperti separatisme seharusnya dikelola dan dibatasi oleh jaring konstitusi, melalui upaya-upaya negosiasi.
Pendekatan kekerasan dan stigma terhadap orang Papua yang diangggap bodoh dan separatis, yang dipraktekkan pemerintah kita, justru membuat warga merasa tak diterima. Pendekatan militeristiklah yang membuat orang Papua berpikir untuk merdeka, setidaknya itu ungkapan Ketua Sinode Kingmi Benny Giay.
Selain itu, pijakan pembangunan di Papua yang berpihak kepada pendatang dan secara otomatis menyingkirkan eksistensi orang asli haruslah dihilangkan. Pembangunan yang dikawal dengan aparat yang represif menimbulkan benih bertumbuhnya nasionalisme Papua. Respons pemerintah yang menjadikan hal ini sebagai alasan untuk menumpas orang Papua-lah yang dapat berakibat pada terjadinya lingkar kekerasan yang berpotensi memusnahkan orang Papua.
Tidak ada salahnya kita belajar dari bagaimana pemerintah Kanada berhasil meredam separatisme di wilayah mereka. Walau memang, hasilnya belum mampu menekan secara total kelompok separatisme di Quebec, namun para pendukung gerakan ini semakin berkurang junlahnya di setiap pemilu. Oleh karena itu, manajemen konflik pemerintah kanada dalam menyelesaikan konflik ini seringkali dipandang dunia sebagai sebuah model demokrasi konsesional yang paling berhasil dalam kasus pengelolaan konflik interkultural dalam sebuah negara.
Kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog. Dialog tidak akan mengambil nyawa siapapun. Dialog hanya menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari kekacauan, kekerasan, ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang anti dialog adalah orang-orang yang menjadikan kekerasan dan ketidakadilan sebagai sumber mata pencaharian dan kekuasaan yang biasanya mengatasnamakan bangsa dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan mengatasnamakan suku atau agama.
Oleh Jerry Indrawan, S.IP, M.Si (Han), Pengamat Pertahanan, Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina