SISTEM presidensial yang aneh di negeri Indonesia adalah koalisi partai politik. Yang biasa dan dominan koalisi adalah dalam sistem parlementer.
Karenanya pantas bila disebut Indonesia menganut “quasy presidential system” atau sistem presidensial semu. Bersama partai koalisinya Presiden menyusun kabinet.
Secara teoritis Presiden adalah penentu, tapi dalam praktek terjadi adu kekuatan dan tekanan dari partai koalisi. Akibatnya bukan “zaken kabinet” tetapi kabinet “bagi bagi korsi”. Ini fenomena ketatanegaraan Indonesia. Buruk memang.
Penetapan pemenang pemilu baik legislatif dan pilpres yang bertele-tele membuka ruang dan waktu permainan. Pemilu 17 April baru ditetapkan KPU Presiden 21 Mei. Jadi 1 bulan lebih. Itupun dengan berakibat pada tragedi 22 Mei.
Belum lagi dengan sengketa MK hingga 28 Juni. Praktis dari pemilu hingga diketahui siapa Presiden RI itu 2 (dua) bulan lebih kemudian.
Ruang dan waktu “permainan” itu adalah pendekatan, lobi, dan tawaran jabatan. Hasilnya bisa membelokkan dan memindahkan partai koalisi pendukung. Tentu kubu Prabowo yang menjadi korban. Petahana lebih kuat lobi dan tawaran politiknya.
Partai Demokrat sudah absolut loncat. Gaya ketumnya yang “baperan” dan punya misi sukses “putera mahkota” lebih mudah tergoda. PAN pun mulai goyang meski di internal tidak solid. Jika putusan MK memutuskan petahana sebagai pemenang maka bisa jadi PAN loncat juga. Amien Rais yang konsisten bisa ditinggalkan.
Partai Demokrat yang lebih pragmatis loncatannya tidak menimbulkan goncangan kader. Sementara PAN akan terjadi kekecewaan pada kader. Konflik internal menjadi terbuka. Faktor Amien Rais tetap berpengaruh. Loncat ke pangkuan Jokowi berisiko.
Jokowi bukan Presiden yang disukai rakyat. Rezimnya rentan kooptasi “asing” dan “aseng”. Rakyat sedang serius mengkritisi bahkan melawannya. Apalagi diindikasi kemenangan didapat dengan tidak halal.
Demokrat yang “ke sana-sini” sejak awal dan “fixed” menyatakan lepas dari koalisi 02 juga sebenarnya tidak mudah diterima koalisi 01. Mereka adalah pendukung “berkeringat” yang dipaksa harus rela melepas jatah atau konsesinya untuk diberikan kepada “tamu” yang datang diujung.
Bukan mustahil posisi Partai Demokrat menjadi terayun ambing. Tidak diterima “ke sana-sini” atau dapat satu menteri hiburan.
Kondisi ini harus menjadi perhatian dan kalkulasi partai yang ikut goyang juga PAN. Jika tidak, bisa berpengaruh terhadap dukungan dan kepercayaan masyarakat di Pemilu 2024. Masa depan yang lebih suram.
PBB tenggelam dan PPP yang hampir tergerus harus menjadi pelajaran. Gerindra dan PKS relatif konsisten akhirnya memperoleh dukungan signifikan. PAN tak boleh jadi partai bimbang jika ingin bertahan.
Pindah koalisi adalah penyakit yang dibenci rakyat. Partai pragmatis yang hanya memikirkan kursi adalah cermin yang tak peduli pada aspirasi dan kepentingan rakyat. Ia akan dijauhi oleh rakyat. Rakyat tak suka sinetron.
Yang dibutuhkan adalah konsistensi dalam membela rakyat dan membela umat. Partai partai akan selalu diuji apakah masih menjadi partai perjuangan atau partai keuangan. Mengais posisi ataukah bervisi memajukan negeri? Partai itu tangan pemerintah atau sarana penyalur aspirasi? Yang lebih ekstrim pertanyaan adalah apakah partai itu pengabdi atau pencuri?
Jangan sampai nanti ada konklusi bahwa pindah koalisi merupakan kongsi jahat untuk mencuri suara rakyat. Res publica adalah kepentingan publik bukan kepentingan negara atau partai politik.
Selamat untuk tetap menjadi partai perjuangan atau berubah menjadi partai keuangan. Melangkah menuju ketenggelaman karena ikut dalam koalisi keculasan.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung