KedaiPena.Com – Putusan Pengadilan Arbitrase Permanen yang menolak klaim Tiongkok atas atas laut China selatan, tidak akan menghentikan aktivitas Tiongkok melakukan reklamasi. Aktifitas itu kan terus memicu provokasi dengan negara-negara di wilayah klaim Laut China selatan.
Demikian dikatakan Akademisi universitas Prof DR. Moestopo (Beragama) Yudha Kurniawan, saat dihubungi KedaiPena.Com terkait konflik di Laut China Selatan, minggu (17/7).
“China menolak dan tidak mengakui putusan pengadilan,tetapi itu adalah hal yang biasa dalam politik internasional, sebagai pihak yang kalah penolakan tersebut didasari oleh klaim sejarah mereka,” kata Yudha.
Ia menuturkan, Makhamah Arbitrase yang selama ini tidak memiliki kekuatan untuk memaksa negara-negara mematuhi putusannya, akan menyebabkan potensi konflik di laut China selatan akan kembali terjadi.
“Keputusan Mahkamah Arbitrase bersifat mengikat secara normatif dan semua pihak harus menghormati serta patuh terhadap hasil keputusan. Namun sayangnya mereka belum memiliki kekuatan untuk memaksa negara (enforcement) agar mematuhi putusan tersebut,” katanya.
Oleh karena itu, sambung Yudha, untuk mengatasi konflik berkepanjangan di Laut Cina Selatan itu, dibutuhkan adanya keterlibatan dewan keamaanan perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Untuk ikut andil memaksa Tiongkok mematuhi keputusan Makhamah Arbritase.
“ASEAN tidak bisa melakukan Enforcement terhadap Tiongkok, yang cukup rasional adalah DK PBB untuk melakukan hal tersebut. Walaupun kita berharap Tiongkok tidak terlalu asertif dalam menyikapi keputusan tersebut,” katanya.
Lebih jauh, Yudha mengatakan, Negara-negara se kawasan Asean disarankan untuk satu suara dalam menghadapi segala kemungkinan berhadapan dengan Tiongkok di Laut China Selatan. Hal itu didasari beberapa hal, diantaranya penarikan diri Tiongkok dari UNCLOS 1982, hingga gelar militer Tiongkok di Laut China Selatan.
Ia juga menyarankan, Asean segera menyiapkan beberapa skenario untuk melakukan penggalangan suara demi mempertahankan status Quo putusan makhamah Arbritase. Terlebih saat ini Myanmar dan Laos mendukung penolakan Tiongkok.
“Perlunya pengalangan suara di negara – negara ASEAN agar memiliki frekuensi yang sama atau mempertahankan status quo atas hasil putusan, dengan membuka pintu bagi kekuatan lain dalam perimbangan kekuatan di kawasan,” Tukasnya.
Selain penggalangan suara, tambah Yudha, perlunya kesepakatan kodek etik (code of conduct/CoC) antara ASEAN – dan Tiongkok paskakeputusan Mahkamah Arbitrase dikeluarkan.
“Ukuran normatif saat ini untuk menekan gejolak di Laut China Selatan selain melakukan penggalangan suara adalah segera menekan kesepakatan CoC antara ASEAN – Tiongkok,” tutu Yudha.
(Apit/ Dom)