Ditulis Anthony Budiawan – Managing Director PEPS Political Economy and Policy Studies
PEPATAH mengatakan, hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi. Karena, putusan hakim, seharusnya, ya seharusnya, sangat jujur dan adil, sangat sempurna. Artinya, putusan hakim tidak memihak, tetapi atas dasar keadilan.Maka itu, institusi yang menegakkan keadilan dinamakan lembaga peradilan, dan tempat proses untuk mencari keadilan dinamakan pengadilan.
Sedangkan proses peradilan dipimpin oleh hakim, sebuah jabatan yang sangat terhormat dan mulia, dibandingkan dengan profesi lainnya. Sehingga hakim senantiasa dipanggil dengan ‘Yang Mulia’ di dalam persidangan. Karena putusan hakim selalu berdasarkan kejujuran dan keadilan.
Tetapi, putusan hakim bisa menjadi bias, dan tidak adil, ketika ada intervensi dari luar, baik intervensi dari penguasa atau intervensi materi alias suap.
Penyuapan kepada hakim akan mengubah putusan hakim, dari putusan yang jujur dan adil menjadi putusan yang memihak kepada penguasa, atau kepada yang bayar, meskipun mereka salah tetapi dicarikan pembenaran.
Penyuapan membuat hakim tidak lagi menjadi wakil Tuhan di muka bumi, dan tidak lagi mulia. Penyuapan membuat hakim menjadi hamba setan dan terhina, karena mempermainkan keadilan serta nasib manusia.
Denga kata lain, dalam lingkungan steril dan tanpa intervensi atau suap, putusan hakim akan selalu berpihak pada kebenaran, kejujuran dan keadilan. Karena tidak ada alasan sama sekali bagi hakim untuk memutus perkara dengan tidak adil.
Sehingga, setiap putusan hakim yang tidak berdasarkan keadilan, hampir dapat dipastikan akibat intervensi atau suap, meskipun tidak ada bukti. Tetapi dapat dirasakan ketidakadilannya.
Beberapa kasus suap kepada hakim ada yang terbongkar. Tetapi, mungkin masih banyak kasus suap lainnya yang tidak terungkap. Tetapi dapat dirasakan, karena putusannya terasa janggal dan tidak adil.
https://rm.id/baca-berita/parlemen/141643/hakim-agung-tersangka-suap-banyak-aduan-masyarakat-karena-putusan-tidak-adil
Memang hakim adalah manusia biasa yang tidak sempurna, dan tidak luput dari kesalahan. Sehingga bisa saja hakim membuat putusan salah dan tidak adil.
Untuk mengurangi risiko kemungkinan terjadi kesalahan, maka ditempatkan lebih dari satu hakim dalam setiap proses peradilan. Sehingga kemungkinan salah dalam memutuskan perkara hukum relatif menjadi lebih kecil.
Semakin banyak jumlah hakim dalam satu proses peradilan, maka kemungkinan salah dalam memutuskan perkara hukum juga semakin kecil.
Oleh karena itu, proses peradilan di Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 hakim konstitusi, terbanyak dari semua proses peradilan di Indonesia. Hal ini nenandakan perkara konstitusi merupakan perkara yang sangat penting bagi negara. Salah satunya, antara lain, mengadili permohonan pemberhentian presiden.
Belum lama berselang, Mahkamah Konstitusi, tidak dengan suara bulat, mengabulkan permohonan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, dari 4 tahun menjadi 5 tahun, dengan suara 5-4. Lima hakim konstitusi setuju, empat menolak.
https://news.detik.com/berita/d-6738648/putusan-perpanjang-jabatan-pimpinan-kpk-5-hakim-mk-setuju-4-menolak/amp
Lima hakim konstitusi berpendapat, masa jabatan pimpinan KPK 4 tahun melanggar konstitusi, melanggar pasal 28D ayat (1) UUD, karena dianggap diskriminatif terhadap masa jabatan pimpinan 12 komisi independen lainnya.
Sedangkan empat hakim konstitusi lainnya menilai ketidakseragaman mengenai masa jabatan antar komisi independen tidak dapat ditafsirkan telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminatif, serta timbulnya keraguan masyarakat atas posisi dan independensi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana didalilkan oleh pemohon, yaitu wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron.
Masyarakatpun menilai, putusan lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK tersebut terasa sangat janggal, karena tidak konsisten, dan tidak berdasarkan keadilan hukum konstitusi yang berlaku. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh sebagian besar, atau mungkin seluruh, masyarakat.
Karena, dalam uji materiil yang hampir sama, yaitu terkait masa jabatan dan periode jabatan kepala desa, yang ditetapkan 6 tahun dan 3 periode, semua hakim konstitusi setuju tidak ada pelanggaran konstitusi.
Meskipun masa jabatan kepala desa tersebut sangat lama, dan berbeda dengan masa jabatan kepala daerah lainnya, yaitu 5 tahun dan 2 maksimal 2 periode.
https://amp.kompas.com/nasional/read/2023/03/31/17270861/gugatan-masa-jabatan-kades-tidak-diterima-mk-tetap-bisa-menjabat-sampai-18
Apakah putusan lima hakim konstitusi yang dirasakan tidak adil tersebut termasuk yang 99 persen, yaitu akibat suap? Atau termasuk yang hanya 1 persen, yaitu hakim sebagai manusia tidak lepas dari kesalahan?
(***)