KedaiPena.Com– Pandemi COVID-19 turut menguji kemampuan keuangan negara-negara di seluruh dunia yang diakibatkan kebijakan fiskal ekspansif untuk biayai paket stimulus dampak pandemi. UNDP bahkan mencatat peningkatan utang negara secara global mencapai 256 persen.
Sementara itu, Indonesia juga mencatat kenaikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 10 persen selama pandemi guna membiayai penanganan pandemi dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Terkait hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Komarudin menegaskan peran DPR RI dalam mengawasi kinerja pengelolaan utang negara melalui fungsi-fungsi parlemen.
“Dua tahun sejak pandemi, peran parlemen dalam penganggaran, pengawasan, dan pembentukan anggaran negara semakin tertantang. Karena kita juga perlu memastikan konsekuensi kebijakan fiskal yang ekspansif ini tidak menghambat pertumbuhan antar generasi. Termasuk, untuk pastikan meski terjadi peningkatan utang negara, manfaatnya dapat terlihat dan dirasakan langsung bagi masyarakat di seluruh Indonesia,” ungkap Puteri dalam paparannya terkait Praktik Pengawasan Parlemen terhadap Utang Negara di Indonesia, ditulis, Rabu,(27/4/2022).
Puteri hadir sebagai panelis webinar dengan tema The Role of Parliaments in Public Debt Management and Transparency yang diselenggarakan National Democratic Institute (NDI) dan Westminster Foundation for Democracy (WFD), pada Selasa (26/4/2022).
Dalam paparannya, Puteri juga menjelaskan tantangan yang dihadapi DPR RI dalam mengawasi pengelolaan keuangan negara. Khususnya, pengawasan atas pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2020 yang mengatur kembalinya defisit fiskal APBN di level 3 persen terhadap PDB di tahun 2023.
“Selain itu, menjadi tantangan juga untuk awasi pertumbuhan rasio utang kita yang semakin melonjak hingga 41 persen per PDB di tahun 2021. Walaupun dapat dikatakan masih sesuai dengan ketentuan batas 60 persen, namun kita tetap perlu waspada dan pastikan kemampuan kita untuk membayar utang masih terkendali. Apalagi, mengingat kebutuhan keuangan negara masih sangat tinggi, khususnya dalam pembiayaan PEN dan pembangunan infrastruktur,” lanjut Puteri.
Lebih lanjut, Puteri juga menjelaskan bentuk-bentuk pengawasan DPR RI dalam siklus penganggaran APBN. Mulai dari tahap penyusunan, persetujuan, pelaksanaan, hingga pengawasan.
“Pengawasan dalam tahap penyusunan APBN adalah salah satu yang utama, karena parlemen dapat menggunakan kewenangan budget-making dengan menyesuaikan rancangan anggaran yang diajukan pemerintah selama tidak menaikan defisit fiskal.
Selain itu, kita juga berupaya agar pemerintah dapat meminimalisir penarikan pinjaman baru dengan memanfaatkan alternatif pembiayaan non-utang, seperti Saldo Anggaran Lebih (SAL) maupun penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar domestik,” jelas Puteri.
Menutup sesi panelis, Puteri juga menanggapi antusiasme peserta yang mempertanyakan transparansi dan ketersediaan data dan informasi utang negara yang dikelola pemerintah.
“Dalam pembahasan RAPBN kami menerima informasi dan data terkait keuangan negara yang dibutuhkan untuk berdiskusi dengan pemerintah.
“Bahkan, jika memerlukan data tambahan kami dapat sampaikan kepada pemerintah dan dapat segera terpenuhi. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tentunya DPR RI, Komisi XI khususnya, telah bangun kerjasama yang baik dengan. Kementerian Keuangan dan otoritas terkait,” tegas Puteri.
Hal yang senada juga disampaikan Anggota Parlemen Zambia Fred Chaatila yang menyampaikan tantangan parlemen Zambia dalam mengawasi pengelolaan utang negaranya selama pandemi.
“Tantangan yang parlemen kami alami terkait tidak seimbangnya kewenangan pemberi pinjaman dan negara sebagai penerima pinjaman. Selain itu, kami juga tidak bisa memanggil pemberi pinjaman luar negeri untuk hadir di sesi parlemen untuk memeriksa perjanjian pinjaman. Padahal, penarikan pinjaman juga memerlukan persetujuan parlemen,” jelas Fred.
Laporan: Muhammad Hafidh