KedaiPena.Com – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dibentuk lewat Kepres No. 33 tahun 2021 tidak lagi didasari oleh spirit dari riset dan inovasi yang benar.
Keberadannya tidak lagi mencirikan sebuah organisasi riset level negara, tetapi sudah mirip ormas atau lembaga politik. Terlebih dengan adanya stuktur Dewan Pengarah di dalamnya.
Demikian disampaikan Dipo Alam, eks Sekretaris Kabinet (Seskab) Republik Indonesia dalam Diskusi Space Twitter, “Politisasi Science dan Lembaga Riset”, ditulis Sabtu (18/9/2021).
Padahal, dalam Perpres BRIN lama No. 74 tahun 2019 tidak disebutkan adanya struktur Dewan pengarah. Pada Pasal 4 hanya disebutkan struktur lama terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan, dan Deputi Bidang Penguatan Inovasi.
“Keberadaan Dewan Pengarah jelas bermasalah dan amat tidak lazim seperti halnya sebuah organisasi atau lembaga riset. Hal tersebut hanya lazim berada di partai politik atau ormas. Jelas ini cacat mental,” papar Dipo.
Dari situ dapat disimpulkan tentang adanya orang kuat yang bisa mengarahkan jalannya organisasi riset dan ilmu pengetahuan. Keberadaan orang kuat hanya biasa terjadi di negara-negara komunis.
Lagipula, posisi Kepala BRIN terlihat hanya bersifat administratif. Wewenang strategis pada Pasal 6 Kepres BRIN semua dipegang oleh Dewan Pengarah.
“Dengan demikian terlihat secara umum, keberadaan BRIN hanya sebuah akrobat politik dari sementara pihak yang lebih besar interest sumber daya ekonomi dari anggaran riset yang sepertinya digelembungkan,” lanjut Dipo.
Dulu pada anggaran 2017 UKP PIP Setkab hanya Rp7 Miliar/tahun. Setelah ada anggaran konsolidasi masuk ke BRIN menjadi Rp16,6 Triliun/tahun. Hal tersebut menjadi ironi di tengah pandemi dan resesi ekonomi seperti sekarang yang memaksakan pembentukan organisasi yang belum jelas blue printnya, dan akan mengelola aggaran besar yang patut dipertanyakan.
Sementara Ketua Dewan Pengarah juga seorang ketua partai politik dan unsur Dewan Pengarah sebuah lembaga pembinaan ideologi BPIP, tentu dipertanyakan. Di negara totaliter seperti Cina sekali pun, integrasi lembaga riset hulu ke hilir belum pernah ada modelnya.
“Di sana lembaga ristek menjadi pengambil kebijakan dan kebijakan hasil lembaga riset tersebut di-‘share’ ke lembaga-lembaga lain. Jadi tidak ada model integrase lembaga riset hulu ke hilir. Begitu pula di Korea Selatan, pada lembaga Korea Institute Science and Technology, juga pada lembaga KAIS (Korean Advance Institute of Science and Technology),” tandas Dipo.
Laporan: Muhammad Lutfi