KedaiPena.Com – Penjelajah senior Herman Lantang mengaku, pendakian ke Puncak Cartenz, Jaya Wijaya merupakan salah satu yang membuatnya berkesan. Sebab, di sana, dia melihat salju di negara sendiri, yang sebenarnya beriklim tropis.
Selain itu, karena ia dan tim Mapala UI adalah rombongan pendaki pertama, yang isinya full orang sipil Indonesia.
Demikian dikatakan dia saat ditemui KedaiPena.Com di Herman Lantang Camp, kaki Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, belum lama ini.
Rencana ekspedisi ke Puncak Cartenz makin matang saat Herman dan rekannya, Henry pergi ke Jayapura untuk survei. Ini dilakukan sebagai upaya penjajakan operasional ke pedalaman Papua khususnya ke Pegunungan Jayapura yang 30 tahun lalu, masih sulit dan belum terbuka seperti saat ini.
Henry sempat menuturkan bagaimana mereka harus meyakinkan ibu-ibu saat itu, agar percaya dan mau membelikan tiket pesawat udara ke Jayapura yang sangat mahal.
Singkat kata, tim survei berhasil membina hubungan baik dengan pemerintah Daerah setempat. Henry, sejawat Herman yang pernah hidup lama di Jayapura, memanfaatkan sekali tali pertemanannya dengan pejabat, pemimpin masyarakat dan tokoh pendidikan di Universitas Cendrawasih (Uncen).
Upayanya itu membangkitkan rasa optimis yang menjadi modal usaha serta semangat juang rekan-rekan lain, yang berstatus mahasiswa atau malah mahasiswa ‘drop-out’.
Kamar di asrama PGT -17 seketika menjadi sekretariat ekspedisi, belasan anggota mulai beraksi dengan kasat-kusutnya dan mebina relasi .
Aneka sumber kepustakan menjadi bacaan wajib, serta mulai ada pembagian tugas pendalaman untuk “belajar†melalui buku-buku atau mencari narasumber ahli lainya, mereka juga memanfaatkan latar belakang studinya, untuk lebih mendalami aneka aspek yanhg bisa mendukung kegiatan ekspedisi ini.
Dilansir dari buku ’40 Tahun Mapala UI’, rekan Herman yang lain, Attabrani Kusuma (M-019-UI), yang merupakan mahasiswa studi Antropologi memanfaatkan ilmu sekolahnya untuk telaaah buku entnografi Irian, Sebab, nantinya bidang penelitian antropologi menjadi tanggung jawab kerja di lapangan.
Sementara James Turangan (M-057-UI) yang masih tersisa kemampuanya berbahasa Belanda-Indonesia agar mampu menebak serta menerka makna buku Ekspedisi Colin tahun 1930-an ke Gunung Papua.
Buku Ekpedisi Tjandrawasih pun dikupas habis, untuk telaah rute perjalanan dan peralatan, termasuk juga perbekalan hidup berupa bahan makanan dan minuman.
Beberapa pemimpin ekspedisi RI dengan tim inti pasukan khusus dari RPKAD, sempat didatangi dan ditanyai. Sambil mempelajari pengalaman tim Tjendrawasih, calon peserta dan tim pendukung ekspedisi, membagi-bagikan tugas sesuai minat dan kemampuan masing-masing.
Berbagai pihak didekati dengan segala pendekatan, sementara kegiatan pendakian tetap saja dilakukan, khususnya gunung yang dekat dari Jakarta seperti Gunung Gede, Pangrango dan juga Gunung Salak.
Dalam prosesnya, ada juga orang luar yang terlibat dalam persiapan menuju Cartenz. Misalnya Utjun Djajanegara yang merupakan warga Wanadri, sebagai insinyur ITB Bandung, Utjun membagi pengetahuan dan pengalamanya soal radio komunikasi kepada rekan lainya.
Kebetulan pula saat itu Utjun masih belum bekerja tetap, konon katanya Utjun, baru saja mengundurkan diri dari dinas TNI- AU, sehingga bisa aktif sekali dalam proyek ekspedisi Mapala UI ke Puncak Jaya. Akhirnya, Utjun memang terpilih sebagai anggota tim ekspedisi dan dia malah menjadi anggota kehormatan mapala UI (MK-059-UI) dengan pelantikan di puncak Cartenz Timur.
Laporan: Muhammad Hafidh
Foto: Istimewa