Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Pulung. Disebut juga “Ndaru”. Merupakan fenomena sosial pedesaan Jawa. Manakala terjadi rotasi kekuasaan.
Biasanya tampak pada malam menjelang pilkades. Atau pilihan bupati. Pilihan pejabat.
Pulung dipahami masyarakat sebagai tanda perkenan atau restu Tuhan. Atas hadirnya sosok pemimpin baru.
Menurut cerita (saya belum melihatnya sendiri), perkenan atau restu Tuhan itu tervisualkan melalui bola api terbang. Sebesar bola sepak, berwarna merah kekuning-kuningan. Dibalut warna biru.
Bola api itu melayang-layang di angkasa. Mencari figur terpilih. Jika bola api itu masuk ke rumah kontestan pilkades atau pilbub, diyakini ialah sosok pemimpin terpilih itu.
Pemilihan pada pagi hingga siang harinya tinggal formalitas belaka. Pemenangnya, atau pemimpin baru itu, sudah diketahui sebelum pemilihan.
Ada kalanya pulung itu sudah nyaris masuk rumah salah satu kontestan. Batal masuk dan berbelok arah.
Orang-orang meyakini kontestan itu tidak kuat memanggul tanggung jawab. Maka restu Tuhan itu berpindah kepada sosok yang mampu memanggul amanat.
Tidak diketahui secara persis, apakah restu Tuhan yang tervisualisasikan melalui bola api itu bener-bener nyata. Atau hanya sebuah trik politik pada kehidupan sosial masyarakat tertentu. Sebagai politik pencitraan belaka.
Politik kesan. Bahwa sosok tertentu telah memperoleh restu ilahi. Maka masyarakat dengan sendirinya akan mendukungnya.
Sama seperti kisah raja Mataram menikah dengan Nyai Roro Kidul. Sosok penguasa maha samudera laut selatan. Nyata atau simbol belaka. Itu juga sebuah misteri.
Simbol raja Mataram telah menaklukkan kekuasaan raksasa. Maka raja Mataram secara otomatis sosok hebat. Sakti.
Jangan melawannya jika tidak ingin menemui kehancuran. Seperti itulah kira-kira inti pesan cerita itu.
Cerita Pulung atau Ndaru juga mirip cerita pewayangan. Untuk memperoleh restu Tuhan dalam memanggul amanat kekuasaan atau tugas kemanusiaan, kesatria harus bertapa.
Mendekatkan diri pada Tuhan. Juga menjauhkan diri dari hawa nafsu.
Figur paling serius mendekat pada Tuhan, paling jujur dan tulus berkomitmen menjalankan amanat kekuasaan dan tanggung jawab kemanusiaan. Ia akan terpilih memperoleh mandat ketuhanan itu.
Cerita pewayangan itu menyebutnya sebagai “Wahyu”. Tentu beda maknanya dengan wahyu kenabian.
Terlepas benar tidaknya ada visualisasi perkenan Tuhan dalam bentuk bola api itu, cerita soal pulung mengandung pesan moral. Bahwa amanat kekuasaan atau tanggung jawab misi kemanusiaan itu diberikan kepada orang yang paling dekat kepada Tuhan.
Kepada sosok paling tulus dan jujur komitmennya menjalankan amanat itu. Sosok paling berkomitmen dalam menjauhkan dari hawa nafsu yang tidak baik.
Pada tradisi sebagian masyarakat Jawa, menjelang pemilihan biasanya diiringi tirakatan. Untuk menangkap pulung. Agar pulung tidak dicuri kontestan lainnya. Ada cara pikir seperti itu.
Bagaimana dengan pilpres 2024. Apakah akan ada visualisasi tanda perkenan atau restu Tuhan itu dalam bentuk bola api. Terbang melayang-layang di langit dan kemudian masuk ke rumah salah satu kandidat?.
Atau perkenan Tuhan itu sebenarnya sudah diberikan tanda-tandanya. Melalui beragam survei pemotret elektabilitas para kandidat?. Kita tidak perlu susah-susah memikirkanya bukan?.
Tanggal 14 Februari 2023, dua hari lagi, siapa pemimpin baru itu akan diketahui. Rakyat sebagai perpanjangan kehendak Tuhan akan menjatuhkan vonisnya.
Kita semua bangsa Indonesia tentu menghendaki memperoleh pulung itu. Restu Tuhan untuk hadirnya pemimpin yang bisa melindungi dan memajukan Indonesia. Sesuai Ridho-Nya.
Untuk menjaga pulung itu, segenap rakyat perlu tirakatan. Memperkuat diri mendekatkan pada-Nya. Agar pilpres dan pileg 14 Februari 2024 menghasilkan pemimpin yang diridhoi-Nya.
Bukankah begitu?
[***]