AKU rindu pada langit musim semi.
saat siang di tepi batas, langit mulai bersolek dengan layang-layang.
Seperti tembok kertas di udara, aku tak melihat tepinya.
Aku pikir, sebelum angin mati dan langit padam.
Dan mumpung sisa uang saku, kubeli satu.
Cepat kuterbangkan, biar ia mengambang di udara, biar saling menyambar dalam aduan.
Seakan musim terbang, bahkan capung-capung gesit menggelitik.
Pada rumput-rumput tinggi, ilalang, bahkan kembang.
Juga angin hangat yang menyusup pada lubang hidung.
ia menyengatku, menulari demam kerinduan pada kota polusi.
Suatu kali, bisa kulihat layang-layang Pari terbang dengan pongahnya.
Besar dan tali yang kuat.
Ratusan anak kota menaruh harapan pada langit.
Hingga yang ditunggu akhirnya putus.
Kami mengejar seperti Serigala mengendus Babi.
Menyalak lapar pada daging yang tersangkut di batang pohon.
Berebut memanjat, saling sikut, dan bau-bau ketiak matahari tadi siang.
Galah menyerang, yang lain menarik-narik lengan pembawanya, jatuh terluka.
Kata-kata kasar adalah mantra.
Dan bunyi klakson menjadi latar musik dari adegan ritual yang hilang.
Tradisi itu redup, menjadi artefak yang difestivalkan.
Kini, harapan tak lebih dari sekedar menyirami langit.
Yang meski ku bakar dupa di puncak tertinggi.
asapnya akan terpenggal oleh tongkat Musa yang di video game kan.
Karya : Indra Pratama Sadewa, Mahasiswa Universitas Mercubuana