SENYUMÂ di matamu mampu menembus dada
Tapi tidak padaku
Lidahmu sanggup menggelitik pentil
Berjuta kepala di bawah sepatumu
Yang membuat merinding karena dalih ikrar suci
Yang kau terbitkan menggelora
Kau pecahkan sepi dalam gelak kelakarmu
Serta pemandu sorak, ramai bertelanjang dalam gilang gemilang
Sementara kau remas isi dada mereka. Tapi tidak padaku.
Lidahmu yang berkilah, bagiku hiperbola dalam sajak picisan
Sepintas lalu, seperti sepintas perhatianku pada tukang obat di tanah lapang.
Aku bukan seekor gagak yang senang mengendus
Sisa aroma steak atau keringat dari sela payudara
Perempuan kelas satu di lidahmu
Lidah yang juga mampu merangkai sangkar emas
Dan pintunya yang kau biarkan mengangkang.
Agar burung-burung haus datang
Dan meminum air liur yang membuat mereka lupa, ada taring di dalamnya.
Di balik gorden, nada lain terdengar
Bukan di televisi, melainkan suara dari kutub yang bertolakan
Suara terpelajar, suara beringas tak beraturan
Bahkan suara sumbang dari orang-orang
Di simpang jalan, di gang-gang sempit
Orang-orang yang kadang menafkahi laparnya dengan keluhan.
Orang-orang yang mudah menghakimi
Pejabat itu korupsi, atau, foto perempuan dengan pose bugil adalah si fulan
Orang-orang yang suaranya
menjadi instrumen penting dalam menaikkan takhtamu
Sekaligus menjatuhkan derajatmu
Puisi Indra Pratama, Mahasiswa Pecinta Sastra Universitas Mercu Buana